Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Materi Sejarah Indonesia: Corak Kehidupan Masyarakat Praaksara

 


 Manusia purba, pada awalnya hidup sangat sederhana. Mereka hidup bergantung pada pemberian alam sekitar. Ketika itu mereka belum menghasilkan budaya, dalam bentuk apapun. Mereka hidup secara berkelompok dan sering berperang melawan kelompok (suku) lain. Lalu, seiring perkembangan zaman manusia purba mulai berkreasi menciptakan benda-benda yang dapat membantu dalam mempertahankan hidup mereka. Mereka mulai mengumpulkan makanan dan memperhalus perkakas-perkakas dari batu. Untuk selanjutnya, mereka mulai memproduksi makanan sendiri dan mengembangkan budaya dalam level sederhana.

1. Pola Hunian

Pada awalnya manusia purba hidup di padang terbuka. Alam sekitarnya merupakan tempat mereka mencari makanan. Mereka menyesuaikan diri terhadap alam sekitar untuk mempertahankan hidup. Manusia purba yang hidup di daerah hutan dapat menghindarkan diri dari bahaya serangan binatang buas, terik matahari, dan hujan. Mereka hidup berkelompok, tinggal di gua-gua atau membuat tempat tinggal di gua-gua dikenal sebagai cavemen (orang gua). Dengan demikian, mereka mereka sangat bergantung pada kebaikan alam dan mereka cenderung pasif terhadap keadaan.

Pola hunian itu dapat dilihat dari letak geografis situs-situs serta kondisi lingkungannya. Beberapa contoh yang menunjukkan pola hunian seperti itu adalah situs-situs purba sepanjang aliran Bengawan Solo (Sangiran, Sambungmacan, Trinil, Ngawi, dan Ngandong) merupakan contoh-contoh dari adanya kecenderungan manusia purba menghuni lingkungan di pinggir sungai. Kondisi itu dapat dipahami mengingat keberadaan air memberikan beragam manfaat. Air merupakan kebutuhan pokok bagi manusia. Air juga diperlukan oleh tumbuhan maupun binatang. Keberadaan air pada suatu lingkungan mengundang hadirnya berbagai binatang untuk hidup di sekitarnya.

2. Dari Berburu sampai Pandai Membuat Barang dari Logam

Mencermati hasil penelitian, baik yang berupa fosil maupun artefak maka diduga manusia purba mengalami kehidupan yang berbeda dan meningkat setiap scat. Pada umumnya perkembangan kebudayaan manusia purba dapat dibedakan atas masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana (sederhana dan lanjut), masa bercocok tanam, serta masa perundagian.

a. Masa berburu dan mengumpulkan makanan (tingkat sederhana dan lanjut)

 Kehidupan masyarakat berburu dan mengumpulkan makanan sangat sederhana. Kehidupan mereka bergantung pada alam. Kebutuhan bahan makanan diperoleh dengan cara berburu dan mengumpulkan makanan dari alam (food gathering). Pada masa ini, kehidupan manusia hanya terpusat pada upaya mempertahankan diri di tengah-tengah alam yang penuh tantangan dengan kemampuannya yang masih sangat terbatas. Kegiatan pokoknya adalah berburu dan mengumpulkan makanan dengan peralatan dari batu, kayu, dan tulang. Kehidupan manusia masih sangat tergantung pada alam lingkungan sekitarnya.

Untuk tempat tinggal, masyarakat praaksara memenuhinya dengan cara membuat tempat berlindung dari daun-daunan. Selanjutnya, mereka memanfaatkan air atau sumber makanan. Mereka akan meninggalkan tempat itu apabila dirasa alam sudah tidak menyediakan makanan lagi bagi kehidupannya. Mereka yang tinggal di gua-gua (abris sous roche) di pinggir pantai akan memakan ikan, kerang, dan siput. Itu sebabnya di dekat tempat tinggal mereka dapat dijumpai dapur sampah yang berupa kulit kerang dan siput (kjokkenmoddinger).

Masyarakat tersusun atas kelompok berburu dan terdapat pembagian kerja. Misalnya, kaum laki-laki bertugas melakukan perburuan. Adapun kaum perempuan bertugas mengumpulkan makanan, mengurus anak-anak, dan memilih bibit tanaman yang berkualitas untuk ditanam. Mereka mulai mengenal bahasa untuk berkomunikasi walaupun masih sangat sederhana.

Pada masa ini, kepercayaan pada dewa-dewa tergambar pada lukisan-lukisan di dinding-dinding gua. Lukisan-lukisan itu juga mengandung arti kekuatan atau simbol kekuatan pelindung untuk mencegah roh jahat. Selain itu, lukisan tersebut juga berkaitan dengan keperluan ilmu perdukunan, misalnya untuk meminta hujan dan kesuburan atau memperingati suatu kejadian penting.

b. Masa bercocok tanam dan beternak

Corak kehidupan pada masa bercocok tanam dan beternak dimulai dengan menggarap tanah di sekitarnya. Kebutuhan bahan makan dipenuhi dengan cara bercocok tanam dan beternak (food producing) berusaha menghasilkan sendiri sumber bahan makanan. Bentuk pertama dalam bercocok tanam adalah berhuma atau berladang. Kehidupan bercocok tanam yang pertama kali dikenal manusia adalah berhuma. Teknik pertanian berhuma adalah cara bercocok tanam dengan cara membersihkan hutan terlebih dahulu, selanjutnya baru ditanami. Setelah beberapa kali melakukan penanaman dan pemanenan jika tanah dirasakan sudah tidak subur lagi maka mereka membuka lahan baru. Cara yang dilakukan sama dengan cara di awal mereka membuka lahan. Mereka akan menebang hutan dan semak belukar untuk ditanami keladi, ubi, sukun, durian, duku, salak, dan tanaman lainnya. Mereka juga berupaya memenuhi kebutuhannya dengan cara beternak. Adapun binatang yang telah diternakkan adalah ayam, kerbau, babi, dan anjing. Walaupun kehidupan beternak telah dimulai, kebiasaan berburu masih saja tetap mereka lakukan.

Kebutuhan tempat tinggal dipenuhi dengan membuat tempat tinggal sederhana dan kecil dengan beratapkan daun-daunan. Rumah dibangun dengan bertiang di beberapa sisi. Tujuannya untuk menghindarkan bahaya banjir dan serangan binatang buas. Pada perkembangannya, besar rumah disesuaikan dengan jumlah anggota keluarga. Rumah-rumah yang dibangun umumnya juga berdekatan dengan tempat mereka bercocok tanam.

Pada masa ini, mereka mulai memperhalus peralatannya. Dari sinilah timbul perkakas-perkakas yang lebih beragam dan maju secara teknologi daripada masa Berburu dan Mengumpulkan Makanan, baik yang terbuat dari batu, tulang, ataupun tanah liat. Hasil-hasil temuan yang menunjukkan budaya pada saat itu adalah beliung persegi, kapak lonjong, mata panah, gerabah, dan perhiasan. Mulai muncul perdagangan dengan cara barter (saling bertukar barang sesuai kebutuhan). Perahu dan rakit memegang peranan penting dalam transportasi untuk perdagangan.

Pada masa Bercocok Tanam ini manusia telah mengenal anggapan bahwa roh manusia setelah mati dianggap tidak hilang, melainkan berada di alam lain yang tidak berada jauh dari tempat tinggalnya dahulu. Dengan demikian, karena sewaktu-waktu roh yang bersangkutan dapat dipanggil kembali bila dimintakan bantuannya.

c. Masa perundagian 

Dalam perkembangannya, kepadatan penduduk bertambah. Pada masa perundagian kebutuhan bahan makan dipenuhi dari bercocok tanam di sawah dan beternak. Mereka sudah mulai mengenal sistem pengaturan air (irigasi) untuk keperluan bersawah tanpa harus bergantung terus kepada alam (hujan). Adapun dalam beternak, binatang yang diternakkan makin beragam, misalnya kuda dan beragam unggas.

Teknik pembuatan rumah makin maju dan beragam daerah menjadi tempat tinggalnya. Lingkungan tempat tinggal mulai teratur sehingga membentuk sebuah pedesaan. Dalam masyarakat perundagian, keberadaan logam, seperti tembaga, perunggu, besi, dan cara pembuatannya telah lazim dikenal. Oleh karena barang tambang tersebut hanya berada di daerah tertentu, maka dilakukan perdagangan dengan cara tukar-menukar atau barter. Dengan demikian, hubungan satu daerah dengan daerah lain mulai terjalin. Perdagangan antarpulau dilakukan melalui laut. Kapal-kapal yang dipakai untuk mengarungi lautan adalah kapal bercadik.

Dalam masyarakat, muncul suatu golongan yang disebut golongan undagi. Golongan ini merupakan golongan yang terampil melakukan satu jenis usaha tertentu, misalnya pembuatan rumah kayu, gerobak, atau benda logam. Beragamnya pekerjaan yang muncul di masyarakat dengan sendirinya menyebabkan pembagian kerja yang muncul makin tegas. Artinya, masyarakat hanya bekerja di bidang keahliannya tidak seperti masa sebelumnya.

Makin tegasnya pembagian kerja yang terjadi menyebabkan terjadi menyebabkan terjadinya perbedaan status sosial. Seseorang akan diperlakukan sesuai status sosial yang dimiliki. Hal itu dikenal sebagai primus interpares, yaitu pemimpin kelompok masyarakat manusia praaksara.

Kepercayaan masyarakat pada masa ini tidak jauh berbeda dengan kepercayaan masyarakat di zaman sebelumnya. Inti kepercayaan mereka adalah pemujaan kepada roh nenek moyang. Secara perlahan, kepercayaan ini terus berkembang dan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat. Kepercayaan dalam masyarakat ini mempunyai kedudukan yang sangat penting. Ini terbukti dengan ditemukannya berbagai alat yang dipakai untuk melaksanakan upacara dan bangunan-bangunan pemujaan.

3. Sistem Kepercayaan

Sistem kepercayaan purba mulai muncul pada zaman Neolitikum (sezaman masa berburu dan meramu tingkat lanjut). Pada zaman ini, masyarakat purba sudah memahami adanya kehidupan setelah mati. Mereka juga meyakini adanya hubungan antara orang hidup dan roh orang yang telah meninggal. Berkaitan dengan peristiwa itu maka kegiatan ritual yang paling menonjol adalah upacara kematian/penguburan sebagai bentuk penghormatan terakhir kepada orang yang meninggal.

Bukti adanya sistem kepercayaan pada zaman Batu terlihat melalui peninggalan berupa tugu-tugu batu besar/bangunan Megalitikum yang letaknya berada di puncak bukit, di lereng gunung/tempat yang lebih tinggi dari daratan sekitarnya. Hal ini muncul dari anggapan masyarakat bahwa roh-roh tersebut berada di suatu tempat yang lebih tinggi. Oleh karena itu, selain ada upacara-upacara penguburan pada zaman tersebut juga telah muncul upacara-upacara untuk mendirikan bangunan suci atau kebudayaan Megalitikum (Batu Besar) yang meliputi bangunan-bangunan berikut ini.

a. Menhir

Menhir adalah bangunan yang berupa tugu batu yang didirikan untuk .upacara menghormati roh nenek moyang sehingga bentuk menhir ada yang berdiri tunggal dan ada yang berkelompok serta ada pula yang dibuat bersama bangunan lain seperti punden berundak-undak. Bangunan menhir yang dibuat oleh masyarakat prasejarah tidak berpedoman pada satu bentuk saja karena bangunan menhir ditujukan untuk penghormatan terhadap roh nenek moyang. Lokasi tempat ditemukannya menhir di Indonesia adalah Pasemah (Sumatera Selatan), Sulawesi Tengah, dan Kalimantan.

b. Punden berundak-undak

Punden berundak-undak adalah bangunan dari batu yang bertingkat-tingkat dan fungsinya sebagai tempat pemujaan terhadap roh nenek moyang yang telah meninggal. Bangunan tersebut dianggap sebagai bangunan yang suci dan lokasi tempat penemuannya adalah Lebak Sibedug/Banten Selatan dan Lereng Bukit Hyang di Jawa Timur.

c. Dolmen

Dolmen merupakan meja dari batu yang berfungsi sebagai tempat meletakkan sajen untuk pemujaan. Adakalanya di bawah dolmen dipakai untuk meletakkan mayat agar mayat tersebut tidak dapat dimakan oleh binatang buas maka kaki mejanya diperbanyak sampai mayat tertutup rapat oleh batu. Dengan demikian, dolmen yang berfungsi sebagai tempat menyimpan mayat disebut peti kubur batu. Lokasi penemuan dolmen, antara lain Cipari Kuningan, Jawa Barat; Bondowoso, Jawa Timur; Merawan, Jember, Jatim; Pasemah, Sumatra; dan NTT. Bagi masyarakat Jawa Timur, dolmen yang di bawahnya digunakan sebagai kuburan/tempat menyimpan mayat lebih dikenal dengan sebutan pandhusa atau makan Tionghoa.

d. Sarkofagus

Sarkofagus adalah keranda batu atau peti mayat yang terbuat dari batu. Bentuknya menyerupai lesung dari batu utuh yang diberi tutup. Dari sarkofagus yang ditemukan pada umumnya di dalamnya terdapat mayat dan bekal kubur berupa periuk, kapak persegi, perhiasan, dan benda-benda dari perunggu serta besa. Daerah tempat ditemukannya sarkofagus adalah Bali. Menurut masyarakat Bali, sarkofagus memiliki kekuatan magis/gaib.  Berdasarkan pendapat para ahli bahwa sarkofagus dikenal masyarakat Bali sejak zaman Logam.

e. Arca batu

Arca/patung-patung dari batu berbentuk binatang atau manusia. Bentuk binatang yang digambarkan adalah gajah, kerbau, harimau, dan monyet, sedangkan bentuk arca manusia yang ditemukan bersifat dinamis. Maksudnya, wujudnya manusia dengan penampilan yang dinamis, seperti arca batu gajah, yaitu patung besar dengan gambaran seseorang yang sedang menunggang binatang yang diburu. Arca tersebut ditemukan di daerah Pasemah (Sumatera Selatan). Daerah-daerah lain sebagai tempat penemuan arca batu adalah Lampung, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.

Sistem kepercayaan berkembang pesat pada masa Perundagian. Praktik kepercayaan yang mereka lakukan masih berupa pemujaan terhadap leluhur. Hal yang membedakannya adalah alat yang digunakan untuk praktik kepercayaan. Dad kepercayaan terhadap roh inilah kemudian berkembang menjadi kepercayaan animisme dan dinamisme.

Animisme adalah suatu sistem kepercayaan yang menyatakan bahwa roh (jiwa) itu tidak hanya berada pada makhluk hidup, namun roh ada juga pada benda-benda tertentu. Roh-roh itu karena ada yang balk dan ada pula yang jahat agar hidup selaras dan tidak saling mengganggu perlu diberi sajen. Dinamisme adalah paham/kepercayaan bahwa pada benda-benda tertentu, baik benda hidup atau mati bahkan juga benda-benda ciptaan (seperti tombak dan keris) mempunyai kekuatan gaib dan dianggap bersifat suci. Benda suci itu mempunyai sifat yang luar biasa (karena kebaikan atau keburukannya) sehingga dapat memancarkan pengaruh baik atau buruk kepada manusia dan dunia sekitarnya. Bagi manusia yang memiliki suatu benda yang diyakini berkekuatan gaib dan dianggap suci ini akan dapat dianggap memiliki keunggulan ataupun keburukan tertentu. Dengan demikian, dinamisme dapat dikatakan lahir dari kesadaran akan kelemahan manusia yang kemudian membutuhkan objek lainnya untuk menguatkannya.

Benda-benda yang dianggap memiliki kekuatan gaib dan dianggap suci ini disebut fetisyen, artinya benda sihir. Benda-benda yang dianggap suci ini, misalnya pusaka, lambang kerajaan, tombak, keris, gamelan, cincin, kalung akan membawa pengaruh baik bagi masyarakat; misalnya suburnya tanah, hilangnya wabah penyakit dan menolak malapetaka.

Post a Comment for "Materi Sejarah Indonesia: Corak Kehidupan Masyarakat Praaksara"