Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Materi Sejarah Indonesia: Perkembangan Teknologi

 


Kehidupan pada masa praaksara sudah mengembangkan kebudayaan dan teknologi. Teknologi waktu itu bermula dari teknologi bebatuan yang digunakan sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan. Dalam praktiknya peralatan atau teknologi bebatuan tersebut dapat berfungsi serba guna. Pada tahap paling awal alat yang digunakan masih bersifat kebetulan dan seadanya serta bersifat trial and error. Mula-mula mereka hanya menggunakan benda-benda dari alam terutama batu. Teknologi bebatuan pada zaman ini berkembang dalam kurun waktu yang begitu panjang. Oleh karena itu, para ahli kemudian membagi kebudayaan zaman batu di era praaksara ini menjadi beberapa zaman atau tahap perkembangan.

1. Pembagian Zaman Praaksara Berdasarkan Hasil Kebudayaan

Berdasarkan analisis hasil kebudayaan yang ditinggalkan, kehidupan zaman Praaksara dibedakan menjadi dua, yaitu zaman Batu dan zaman Logam. Pembagian zaman tersebut tidak menggunakan batas-batas waktu yang jelas untuk tiap-tiap zaman. Mungkin sekali zaman itu berlangsung bersamaan karena pengelompokan zaman tersebut berdasarkan benda-benda yang ditemukan, misalnya zaman Batu dan zaman Logam.

a. Zaman Batu

Pada zaman Batu semua peralatan manusia dibuat dari batu, Zaman Batu ini menurut perkembangannya dibedakan menjadi empat, yaitu zaman Batu Tua (Palaeolitikum), zaman Batu Madya (Mesolitikum), zaman Batu Muda (Neolitikum), dan zaman Batu Besar (Megalitikum).

1) Zaman Batu Tua (Palaeolitikum)

Pada zaman ini ditandai dengan penggunaan perkakas yang bentuknya sangat sederhana dan primitif. Ciri-ciri kehidupan manusia pada zaman ini yaitu hidup berkelompok, tinggal di sekitar aliran sungai, gua, atau atas pohon,  mengandalkan makanan ari alam dengan cara mengumpulkan (food gathering) serta berburu. Itu sebabnya, manusia purba selalu berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain (nomaden).

Hasil kebudayaan Palaeolithikum, seperti kapak genggam banyak ditemukan di daerah  Pacitan, Jawa Timur. Di Indonesia, manusia purba yang hidup pada masa ini adalah Pithecanthropus erectus, Pithecanthropus robustus, Meganthropus palaeojavanicus. Selanjutnya, hidup beberapa jenis Homo (manusia), di antaranya Homo soloensis dan Homo wajakensis.

2) Zaman Batu Madya (Mesolitikum)

Zaman ini disebut pula zaman "mengumpulkan makanan (food gathering) tingkat lanjut" yang dimulai pada akhir zaman Es, sekitar 10,000 tahun yang lampau. Para ahli memperkirakan manusia yang hidup pada zaman ini adalah bangsa Melanesoid yang merupakan nenek moyang orang Papua, Semang, Aeta, Sakai, dan Aborigin. Sama dengan zaman Palaeolitikum, manusia zaman Mesolitikum mendapatkan makanan dengan cara berburu dan menangkap ikan. Mereka tinggal di gua-gua di bawah bukit karang (abris souche roche).

Hasil peninggalan budaya manusia pada masa itu berupa alat-alat kesenian yang ditemukan di gua-gua dan coretan (lukisan) di dinding Gua Leang-Leang, Sulawesi Selatan. Ditemukan pula artefak berupa mata panah, flakes, batu penggiling di Gua Lawa dekat Sampung, Ponorogo, kapak genggam sumatera, pebble culture, dan alat berburu dari tulang hewan.

3) Zaman Batu Muda (Neolitikum)

Di Indonesia, zaman Neolitikum dimulai sekitar 1.500 SM. Cara hidup untuk memenuhi kebutuhannya telah mengalami perubahan pesat, dari cara food gathering menjadi food producing, yaitu dengan cara bercocok tanam dan memelihara ternak. Pada masa itu manusia sudah mulai menetap di rumah panggung untuk menghindari bahaya binatang buas. Manusia pada masa Neolitikum ini pun telah mulai membuat lumbung-lumbung guna menyimpan persediaan padi dan gabah. Tradisi menyimpan padi di lumbung ini masih bisa dilihat di Lebak, Banten. Contoh peralatan hasil kebudayaan zaman Neolitikum adalah kapak persegi dan kapak lonjong.

4) Zaman Batu Besar (Megalitikum)

Disebut kebudayaan Megalitikum sebab semua alat yang dihasilkan berupa batu besar. Kebudayaan ini kelanjutan dari Neolitikum karena dibawa oleh bangsa Deutro Melayu yang datang di Kepulauan Indonesia. Kebudayaan ini berkembang bersama kebudayaan logam di Indonesia, yakni kebudayaan Dongson.

b. Zaman Logam

Dengan dimulainya zaman Logam, bukan berarti berakhirnya zaman Batu karena pada zaman Logam pun alat-alat dari batu terus berkembang, bahkan sampai sekarang. Sesungguhnya, nama zaman Logam hanyalah untuk menyatakan bahwa pada zaman tersebut alat-alat dari logam telah dikenal dan digunakan secara dominan. Perkembangan zaman Logam di Indonesia terdiri atas zaman Perunggu dan zaman Besi, yang berbeda dengan zaman Logam di Eropa. Zaman Logam di Eropa terdiri atas zaman Tembaga, zaman Perunggu, dan zaman besi.

2. Kebudayaan Batu dan Tulang

Berdasarkan peralatan kehidupan yang ditemukan didapatkan sebuah kesimpulan bahwa peralatan hidup yang dikenal pertama kali oleh manusia purba terbuat dan batu dan tulang. Hal itu sesuai tahapan kehidupan mereka yang pertama yang dikenal sebagai zaman Batu.

Zaman Batu Tertua adalah Paleolitikum, zaman ini diduga sezaman dengan dengan zaman Neozoikum. Diperkirakan zaman ini berlangsung 600.000 tahun yang lalu. Pada zaman ini pula diduga manusia mulai muncul di bumi. Pada zaman Batu Tua peralatan yang dibuat berasal dari batu yang masih kasar hasilnya. Persebaran peralatan batu dari zaman Paleolitikum di Indonesia cukup luas, tetapi tempat paling banyak ditemukan adalah wilayah Pacitan dan Ngandong. Itu sebabnya kebudayaan zaman Batu Tua di Indonesia dapat dibedakan atas kebudayaan Pacitan dan Ngandong.

a. Kebudayaan Pacitan

Pacitan adalah nama sebuah wilayah di ujung selatan dari Provinsi Jawa Timur. Di wilayah ini para arkeolog yang melakukan penelitian salah satunya G.H.R. von Koenigswald. Peneliti ini pada tahun 1935 di wilayah Punung, Pacitan, telah menemukan beberapa benda hasil teknologi zaman Batu. Di daerah Pacitan banyak ditemukan alat-alat dari batu yang masih sangat kasar. Alat-alat tersebut berbentuk kapak, yakni kapak perimbas (chopper), karena tidak memakai tangkai maka disebut Kapak Genggam. Alat budaya Pacitan diperkirakan dari lapisan pleistosen tengah (lapisan Trinil); sedangkan pendukung kebudayaan tersebut ialah Pithecantropus erectus.

Kapak genggam selain ditemukan di Pacitan, juga ditemukan di Sukabumi dan Ciamis (Jawa Barat), Parigi dan Gombong (Jawa Tengah), Bengkulu dan Lahat (Sumatera Selatan), Awangbangkal (Kalimantan Selatan), dan Cabenge (Sulawesi Selatan), Flores, dan Timor. Selain kapak genggam, juga dikenal jenis lain, yakni alat serpih (flake). Alat serpih ini digunakan untuk menguliti binatang buruan, mengiris daging dan memotong ubi-ubian (seperti pisau pada masa sekarang). Alat ini banyak ditemukan di Jawa, Sulawesi Selatan, Sumatera Selatan, dan Timor.

b. Kebudayaan Ngandong

Kebudayaan Ngandong adalah kebudayaan yang berkaitan dengan penemuan peralatan hidup manusia purba yang hidup di Situs Ngandong. Wilayah Ngandong yang dimaksud adalah wilayah yang berada di dekat Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Di wilayah Ngandong dan Sidorejo yang berdekatan banyak ditemukan peralatan kehidupan manusia purba yang terbuat dari batu dan tulang (bone culture). Diduga tulang yang menjadi bahan peralatan tersebut berasal dari tulang dan juga tanduk binatang rusa. Jadi, tidak benar kalau peralatan tulang berasal dari tulang manusia.

Umumnya peralatan tulang yang telah ditemukan berfungsi sebagai alat untuk menusuk atau seperti fungsi sangkur zaman sekarang. Di wilayah Ngandong juga pernah ditemukan peralatan yang bentuknya seperti tombak yang bergerigi. Sebaran artefak dan peralatan Paleolitikum cukup luas sejak dari daerah-daerah di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Halmahera.

3. Pola Kehidupan di Pantai dan Gua

Pola kehidupan manusia terus berkembang seiring dengan perkembangan otak manusia dan lingkungan peradabannya. Dari kehidupan zaman Batu Tua, kemudian manusia purba memasuki kehidupan zaman Batu Tengah/Madya (Mesolitikum). Hasil kebudayaan yang dihasilkan tentunya juga lebih maju daripada zaman sebelumnya. Walaupun demikian, bentuk-bentuk hasil kebudayaan zaman Batu Tua (Palaeolitikum) tidak serta-merta punah, justru mengalami perkembangan atau paling tidak lebih baik daripada keadaan sebelumnya. Bentuk flakes dan peralatan dari tulang terus mengalami perkembangan. Secara garis besar kebudayaan Mesolitikum ditandai dengan adanya pola pemukiman di pantai (kjokkenmoddinger) dan gua (abris sous roche).

a. Kebudayaan Kjokkenmoddinger

Kjokkenmoddinger adalah istilah yang berasal dari Bahasa Denmark. Kata "kjokkenmoddinger” terdiri atas dua kata, yaitu kata "kjokken" berarti dapur dan kata "modding" diartikan sampah. Jadi, kjokkenmoddinger dapat diartikan sebagai sampah dapur. Dalam kenyataan, kjokkenmoddinger adalah timbunan atau tumpukan kulit kerang dan siput yang mencapai ketinggian sekitar 7 meter dan sudah membatu/menjadi fosil. Sampah dengan ketinggian tersebut kemungkinan telah mengalami proses pembentukan cukup lama, yaitu mencapai ratusan bahkan ribuan tahun. Kjokkenmoddinger banyak ditemukan di sepanjang pantai Sumatra Timur dari Langsa, Aceh sampai Medan.

Pada saat bukit-bukit itu pertama kali ditemukan, para ahli geologi mengira bahwa itu adalah suatu lapisan bumi yang istimewa. Sebenarnya tidak demikian keadaannya. Pada tahun 1925 dan 1926 Dr. P.V. van Stein Callenfels melakukan ekskavasi di sebuah bukit kerang dekat medan dan menghasilkan temuan kerang. Kerang-kerang yang berasal dari kulit kerang ini kemudian diteliti oleh van der Meer Mohr. Sebagian dari kerang terdiri atas meretrix-meretrix dan sebagian kecil ostrea. Ternyata tumpukan yang awalnya dikira lapisan bumi adalah tumpukan sisa-sisa kulit kerang. Di antara kerang itu mungkin ada yang digunakan sebagai alat tiup, alat minum, atau gayung air. Mungkin ada pula yang dijadikan sebagai perhiasan. Mungkin terdapat juga jenis kerang yang biasa untuk makan. Bekas-bekas itu menunjukkan telah adanya penduduk pantai yang tinggal dalam rumah-rumah bertonggak. Hidupnya terutama dari siput dan kerang. Siput-siput itu dipatahkan ujungnya, kemudian dihisap isinya dari bagian kepalanya. Sisa-sisa makanan mereka berupa rumah siput yang telah dipotong bagian ekornya dan kulit-kulit kerang dibuang di suatu tempat sehingga membentuk ketinggian. Selama ratusan sampai ribuan tahun kemudian timbunan itu bereaksi secara kimiawi dan menjelma menjadi bukit karang, kemudian inilah yang dinamakan sampah dapur (kjokkenmoddinger). Cara memakan siput yang seperti itu masih banyak dilakukan oleh manusia zaman sekarang, yaitu di daerah Pamekasan, Madura. Meskipun tidak secara umum, hal tersebut menunjukkan bahwa pola tingkah laku zaman Mesolitikum masih ada sampai sekarang.

Sementara itu, Dr. P.V. van Stein Callenfels melakukan penelitian di bukit kerang tersebut dan hasilnya menemukan kapak genggam. Kapak genggam yang ditemukan di dalam bukit kerang tersebut dinamakan dengan pebble/kapak genggam Sumatera (sumatralith) sesuai lokasi penemuannya di Pulau Sumatra. Bahan-bahan untuk membuat kapak tersebut berasal dari batu kali yang dipecah-pecah dengan rincian sisi luar yang sudah halus tidak dibilah, sedangkan sisi dalamnya (tempat belah) dikerjakan lebih lanjut sesuai kebutuhan. Selain pebble, yang ditemukan dalam bukit kerang juga ditemukan sejenis kapak, tetapi bentuknya pendek (setengah lingkaran) yang disebut dengan hachecourt/kapak pendek. Melihat dari bentuknya, kemungkinan besar kapak pendek ini dibentuk dengan cara dipukul dan dipecahkan. Selain itu, kapak ini tidak diasah. Benda itu benar-benar kapak atau bukan karena bentuknya yang tidak jelas dan letak ketajamannya hanya terdapat pada ujung yang melingkar. Hal hi dikarenakan sebagian besar alatnya berbentuk lonjong dan dikerjakan pada satu sisi saja (monofacial hands-axe).

Selain kapak-kapak yang telah disebutkan di atas, di bukit kerang juga ditemukan berbagai pipisan (batu-batu penggiling beserta landasannya. Pipisan ini rupanya tidak hanya untuk menggiling makanan, tetapi juga dipergunakan untuk menghaluskan cat merah sebagaimana ternyata dari bekas-bekasnya. Kemungkinan besar warna merah ini diidentikkan dengan darah. Kebiasaan orang-orang terdahulu adalah melumuri badan dengan darah untuk menambah daya tahan dan kekuatan. Tradisi seperti itu masih dilakukan sampai sekarang oleh orang-orang yang masih bertahan dan percaya pada ajaran mistis, terutama sihir. Berdasarkan pecahan tengkorak dan ditemukan pada kjokkenmoddinger, diperkirakan bahwa manusia yang la yang hidup pada zaman Mesolitikum adalah bangsa Papua Melanesoid (nenek moyang suku-suku di Papua dan Melanesoid).

b. Kebudayaan Abris Sous Roche

Selain Kjokkenmoddinger, jenis tempat tinggal lainnya ialah abris sous rosche, yaitu tempat berupa gua-gua yang menyerupai ceruk-ceruk di dalam batu karang. Kebudayaan ini pertama kali dilakukan penelitian oleh Von Stein Callenfels di Gua Lawa deka Sampung, Ponorogo. Peralatan yang ditemukan berupa ujung panah, flakes, batu-batu penggiling, dan kapak-kapak yang sudah diasah. Alat-alat itu terbuat dari batu. Ditemukan juga alat-alat dari tulang dan tanduk rusa.

4. Mengenal Api

Bagi manusia, api merupakan faktor penting dalam kehidupan. Sebelum ditemukan teknologi listrik, aktivitas manusia sehari-hari hampir dapat dipastikan tidak dapat terlepas dari api untuk memasak. Berdasarkan data arkeologi, penemuan api kira-kira terjadi pada 400.000 tahun yang lalu. Penemuan api diduga terjadi pada periode manusia Homo erectus. Selain untuk menghangatkan diri dari cuaca dingin, api juga dapat menciptakan kehidupan menjadi lebih bervariasi dengan berbagai kemajuan akan dicapai. Teknologi api dapat dimanfaatkan manusia untuk berbagai hal. Penemuan api juga memperkenalkan manusia pada teknologi memasak makanan, yaitu memasak dengan cara membakar dan menggunakan bumbu dengan ramuan tertentu. Manusia juga menggunakan api sebagai senjata. Api pada scat itu dapat digunakan untuk menghalau binatang buas yang menyerangnya. Api dapat juga dijadikan sumber penerangan. Melalui pembakaran pula manusia dapat menaklukkan alam, seperti membuka lahan untuk garapan dengan cara membakar hutan. Kebiasaan bertani dengan menebang lalu bakar (slash and burn) adalah kebiasaan kuno yang tetap berkembang sampai sekarang. Teknologi pembuatan api yang pertama kali dikenal adalah dengan teknik gesekan dan gosokan.

5. Perkembangan Zaman Batu

Pada zaman Batu Baru (Neolitikum) telah terjadi "revolusi kebudayaan", yaitu terjadinya perubahan pola hidup manusia. Ciri-cirinya alat-alatnya sudah dibuat dengan baik, diasah (diupam) dan halus. Masa ini merupakan masa bercocok tanam di Indonesia yang bersamaan dengan berkembangnya kemahiran mengasah (mengupam) alat-alat batu serta mulai dikenalnya teknologi pembuatan tembikar. Dengan demikian, masa ini telah membawa perubahan besar dalam kehidupan manusia, yakni perubahan dari kehidupan food gathering menjadi food producing. Hasil kebudayaan Neolitikum, di antaranya ialah kapak persegi, kapak lonjong, alat serpih, gerabah, dan perhiasan. Hasil kebudayaan yang terkenal di zaman Neolitikum ini secara garis besar dibagi menjadi dua tahap perkembangan, yaitu kebudayaan kapak persegi dan kebudayaan kapak lonjong.

a. Kebudayaan Kapak Persegi

Nama kapak persegi berasal dari von Heine Geldern, hal tersebut berdasarkan kepada penampang alang alat-alatnya, yang berupa persegi panjang atau juga berbentuk trapesium. Kapak persegi kebanyakan terbuat dari batu api yang keras atau kalsedon, bentuknya persegi panjang atau trapesium. Ada berbagai ukuran yang besar ialah beliung atau cangkul untuk mengerjakan sawah, sedangkan yang kecil ialah tarah untuk mengerjakan kayu. Pemakaiannya tidak lagi digenggam, melainkan telah mempergunakan tangkai kayu sehingga memberikan kekuatan yang lebih besar.

Pada umumnya kapak persegi berbentuk memanjang dengan penampang lintang persegi. Seluruh bagiannya diupam halus-halus, kecuali pada bagian pangkalnya sebagai tempat ikatan tangkai. Tajamannya dibuat dengan mengasah bagian ujung permukaan, bagian bawah landai ke arah pinggir ujung permukaan atas. Dengan cara demikian, diperoleh bentuk tajaman yang miring seperti terlihat pada tajaman pahat buatan masa kini.

Daerah penemuan kapak persegi pada umumnya di Indonesia bagian barat, seperti di Lahat, Palembang, Bogor, Sukabumi, Kerawang, Tasikmalaya, dan Pacitan. Sebab, penyebaran kapak persegi dari daratan Asia ke Indonesia melalui jalur barat (Sumatra-Jawa-Bali-Nusa Tenggara-Sulawesi). Adapun pusat pembuatannya antara lain di Lahat, Palembang, Bogor, Sukabumi, Tasikmalaya, dan Pacitan.

b. Kebudayaan Kapak Lonjong

Disebut kapak lonjong karena bentuk penampangnya berbentuk lonjong dan bentuk kapaknya sendiri bulat telur. Seluruh permukaan alat tersebut telah digosok halus. Sisi pangkal agak runcing dan diikat pada tangkai. Sisi depan lebih besar dan diasah sampai tajam. Alat ini diduga untuk memotong kayu dan binatang buruan. Kapak lonjong ini juga terdiri atas dua ukuran, yaitu kapak besar (walzenbeil) dan kapak kecil (kleinbeil). Kebudayaan kapak lonjong disebut Neolitikum Papua karena banyak ditemukan di Papua. Wilayah persebaran kapak lonjong di Kepulauan Indonesia meliputi wilayah Sulawesi, Flores, Tanimbar, Maluku, dan Papua.

Benda-benda lainnya yang muncul pada zaman Neolitikum adalah kapak pacul, beliung, tembikar atau periuk belanga, alat pemukul kulit kayu, dan berbagai benda perhiasan. Adapun yang menjadi pendukungnya adalah bangsa Papua Melanesia untuk kapak lonjong.

6. Perkembangan Zaman Logam

Mengakhiri kehidupan zaman Batu maka muncullah kehidupan zaman Logam. Selain disebut zaman Logam, zaman ini ada juga yang menyebut sebagai zaman Perundagian karena pada zaman ini mulai muncul para perajin logam. Para perajin tersebut sangat mahir membuat peralatan yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari dari bahan logam. Zaman Logam yang dialami manusia purba yang hidup di Indonesia terdiri atas zaman Perunggu dan zaman Besi.

a. Zaman Perunggu

Budaya Dongson sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan kebudayaan perunggu di Indonesia. Pada saat itu, manusia sudah mengenal logam campuran tembaga dan timah yang disebut perunggu. Alat-alat pada masa itu yang terbuat dan perunggu, misalnya nekara, moko, kapak perunggu, bejana perunggu, perhiasan perunggu, dan arca perunggu.

b. Zaman Besi

Zaman Besi merupakan zaman terakhir dari masa Praaksara. Pada zaman Besi, manusia telah mampu melebur besi dari bijihnya dan mencetaknya sesuai kebutuhan. Benda-benda dari besi sering ditemukan sebagai bekal kubur. Benda-benda yang ditemukan pada zaman Besi tidak begitu banyak karena mungkin alat-alat tersebut telah berkarat sehingga hancur. Alat-alat tersebut, antara lain kapak, sabit, pisau, cangkul, pedang, tongkat, dan tembilang. Daerah ditemukannya alat-alat ini adalah Bogor, Wanasari, Ponorogo, dan Besuki. Zaman Besi menandakan zaman terakhir dari zaman Praaksara.

Benda-benda dari besi hasil peninggalan zaman Besi sangat jarang ditemukan. Hal ini disebabkan oleh alat-alat dari besi mudah hancur. Benda-benda dari besi yang ditemukan, misalnya mata kapak, sabit, pisau, cangkul, dan mata tombak yang ditemukan di Gunung Kidul (Yogyakarta), Bogor, Besuki, dan Punung (Jawa Timur).

c. Teknik pembuatan barang logam

Van der Hoop, salah seorang ahli sejarah dan arkeolog, berpendapat bahwa cara pembuatan barang-barang pada zaman logam masih menggunakan teknik dua setangkup (bivalve) dan cetak lilin (a cire perdue). Keuntungan dari teknik a cire perdue adalah benda yang diinginkan dapat mempunyai detail yang sempurna, sedangkan kelemahannya adalah cetakan model hanya dapat digunakan sekali.

7. Konsep Ruang dan Pola Hunian (Arsitektur)

Manusia yang hidup pada masa Praaksara diduga telah mengenal pola tata ruang atau memiliki kemampuan untuk mengolah lingkungan sekitarnya. Tindakan untuk membuat tanda di suatu tepat untuk membedakan teritorialnya dengan wilayah lain dapat dikatakan sebagai bentuk awal arsitektur.

Bentuk arsitektur masa Praaksara dapat dilihat dari tempat tinggal manusia purba saat itu, terutama setelah mereka mulai menetap. Adanya gambar-gambar pada dinding gua tempat tinggal mereka tidak hanya mencerminkan aktivitas kehidupan sehari-hari, melainkan juga mengandung nilai-nilai spiritual. Cap tangan dan lukisan di dinding gua yang ditemukan di wilayah Papua, Maluku, dan Sulawesi Selatan dikaitkan dengan ritual penghormatan dan pemujaan arwah nenek moyang, kesuburan, dan inisiasi. Sementara itu, binatang-binatang yang digambar pada dinding gua juga menggambarkan binatang yang diburu atau mungkin juga binatang yang membantu perburuan mereka. Anjing adalah binatang yang sering digunakan untuk membantu berburu dan hal ini berlaku juga sampai sekarang.

Sementara itu, untuk pola hunian luar ruan maka pola hunian dengan sistem penadah angin yang masih digunakan suku Punan sampai saat ini ialah contoh yang paling baik. Suku Punan sampai saat ini masih tersebar di kawasan Kalimantan. Secara sederhana penadah angin adalah konsep tata ruangan yang secara implisit memberikan batas ruang. Mereke cenderung mengikuti ritme atau bentuk geografis alam karena pola hidupnya yang masih bergantung pada alam. Pola garis lengkung tidak teratur seperti aliran sungai dan pola spiral mungkin adalah citra pola ruang utama mereka. Pola ruang demikian belum mengutamakan arah utama.

Post a Comment for "Materi Sejarah Indonesia: Perkembangan Teknologi"