Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Akulturasi Kebudayaan Nusantara dan Hindu-Buddha

B. Akulturasi Kebudayaan Nusantara dan Hindu-Buddha

 

Pengaruh Hindu dan Buddha terhadap kehidupan masyarakat Indonesia dalam bidang kebudayaan, berbarengan dengan datangnya pengaruh dalam bidang agama itu sendiri. Pengaruh tersebut dapat berwujud fisik dan non fisik.

1. Hasil Akulturasi di Bidang Fisik

a. Candi

Kebudayaan Hindu-Buddha yang datang dari India berpengaruh besar terhadap seni bangunan (arsitektur) di Indonesia. Pengaruh kebudayaan Hindu-Buddha terhadap seni bangunan di Indonesia yang masih dapat dinikmati sekarang hanyalah yang terbuat dari batu dan bata. Bangunan ini erat hubungannya dengan hal-hal keagamaan sehingga bersifat suci. Ini bukan berarti pada saat pengaruh India datang, di Indonesia tidak ada bangunan yang terbuat dari kayu dan bambu. Akan tetapi, kedua bahan itu mudah lapuk sehingga hasil peninggalannya tidak sampai pada kita sekarang.

Bangunan dari batu dan bata yang mendapat pengaruh India yang ditemukan di Indonesia itu disebut candi.Candi berasal dari frase candika graha yang berarti kediaman Betari Durga. Durga ini disembah terutama oleh umat Buddha. Dalam bentuk candi-candi di Indonesia pada hakikatnya adalah punden berundak yang merupakan unsur asli Indonesia. Adapun bagian candi dan stupa merupakan pengaruh dari India. Hal ini menunjukkan bahwa bangunan candi merupakan salah satu wujud akulturasi budaya asli Indonesia dan budaya India. Antara candi Hindu dan candi Buddha sebenarnya mempunyai perbedaan pokok terutama pada fungsi atau tujuan dibangunnya candi. 

1) Candi bercorak Hindu

Candi yang dibangun pada masa pengaruh Hindu kebanyakan diperuntukkan sebagai makam dari orang-orang yang terkemuka pada saat itu atau makam raja yang wafat. Namun, hal yang perlu diingat bahwa sebenarnya yang dikuburkan bukanlah mayat raja atau abu jenazahnya, melainkan benda-benda semacam potongan-potongan berbagai jenis logam dan batu-batu akik yang disertai sesajian. Benda-benda tersebut dinamakan pripih dan dianggap sebagai lambang zat-zat jasmaniah raja yang telah bersatu kembali dengan dewa penitisnya. Adapun mayat raja dibakar dan abunya dihanyutkan ke laut. Arca perwujudannya menjadi arca utama dalam candi yang pada umumnya dalam bentuk Arca Dewa Siwa.

Berdasarkan bagan struktur candi bercorak Hindu dapat dilihat bahwa candi memiliki tiga tingkat (triloka), artinya tiga dunia yang kesatuannya merupakan alam semesta. Ketiga tingkat tersebut sebagai berikut.

a) Bhurloka, yaitu kaki candi yang mewakili dunia manusia. Kaki candi berbentuk persegi (bujur sangkar). Di tengah-tengah kaki candi inilah ditanam pripih.

b) Bhuvarloka, yaitu badan candi yang mewakili dunia untuk yang disucikan. Tubuh candi terdiri atas sebuah bilik yang berisi arca perwujudan. Dinding luar sisi bilik diberi relung (ceruk) yang berisi arca. Dinding relung sisi selatan berisi Arca Guru, relung utara berisi Arca Durga, dan relung belakang berisi Arca Ganesha. Relung-relung untuk Candi yang besar biasanya diubah.

c) Svarloka, yaitu atap candi yang mewakili dunia dewa-dewa. Atap candi terdiri atas tiga tingkat. Bagian atasnya Iebih kecil dan pada puncaknya terdapat Iingga atau stupa. Bagian dalam atap (puncak bilik) ada sebuah rongga kecil yang dasarnya berupa batu segi empat dengan gambar teratai merah, melambangkan takhta dewa. Pada upacara pemujaan, jasad dari pripih dinaikkan rohnya dari rongga atau diturunkan ke dalam arca perwujudan. Hiduplah arca itu menjadi perwujudan almarhum sebagai dewa.

2) Candi bercorak Buddha

Dalam agama Buddha candi berfungsi sebagai tempat pemujaan atau peribadatan. Oleh karena itu, di dalam candi bercorak Buddha tidak terdapat pripih dan arca yang melambangkan seorang raja yang telah meninggal. Namun, kadangkala di dalam candi bercorak Buddha disimpan abu jenazah biksu terkemuka yang ditanam dalam bangunan stupa candi. Untuk candi Buddha di India hanya berbentuk stupa, sedangkan di Indonesia stupa merupakan ciri khas atap candi-candi yang bersifat agama Budha. Stupa adalah lambang suci agama Buddha dan tanda penghormatan kepada Sang Buddha. Arca Buddha tampilannya Iebih sederhana dibandingkan arca dewa-dewa dalam agama Hindu.

Adapun tingkatan.dalam bangunan candi bercorak Buddha di Indonesia terdiri atas berikut ini.

a) Kamadhatu atau Buana Hasrat, ketika manusia dikuasai oleh nafsu dan karenanya terikat kepada hokum karma. Jumlah panil 160 buah dan denahnya bujursangkar.

b) Rupadhatu atau Buana Rupa, dimana manusia telah bebas dari nafsu tetapi masih terikat kepada nama dan rupa. Semua dindingnya penuh dengan relief cerita dan relief hias. Denahnya bujursangkar.

c) Arupadhatu atau Buana Tanpa Rupa, ketika manusia telah sempurna dan memasuki alam tiada. Tidak ada ukiran ataupun hiasan. Denahnya berupa lingkaran.

Dilihat dari susunannya terdapat tiga corak bangunan candi, yaitu corak Jawa Tengah bagian selatan, Jawa Tengah bagian utara, dan corak Jawa Timur. Candi berdasarkan pengelompokannya meliputi berikut ini.

1) Candi Jawa Tengah bagian Selatan Pada corak candi Jawa Tengah bagian selatan, candi induknya berada di tengah-tengah dikelilingi candi perwara (candi kecil-kecil). Hal ini menunjukkan suatu sistem pemerintahan yang memusat. Contoh candi Jawa Tengah bagian selatan sebagai berikut.

a) Kompleks Candi Prambanan (Candi Roro Jonggrang)

Di sekitar Candi Prambanan ini banyak terdapat candi-candi kecil dan tiga candi induk. Komplek candi ini didirikan atas perintah Rakai Pikatan dan selesai semasa pemerintahan Raja Daksa dari Mataram. Candi Prambanan merupakan candi Hindu karena nama candi-candinya memakai nama dewa-dewa Hindu. Komplek candi ini didirikan di kaki Gunung Merapi.

b) Candi Kalasan

Candi Kalasan bercorak Mahayana, tingginya 6 meter dengan stupa berjumlah 52 buah. Candi ini didirikan pada 778 M atas perintah Rakai Panangkaran sebagai persembahan kepada Dewi Tara. Panangkaran sendiri beragama Hindu-Biwa, namun karena ketika itu yang berkuasa atas Mataram adalah Dinasti Syailendra maka agama Buddha pun berkembang pesat di Mataram. Pada Prasasti Kalasan yang ditulis dalam bentuk puisi berbahasa Sanskerta dan huruf Pranagari disebutkan bahwa para rahib Buddha meminta izin kepada Raja Panangkaran untuk mendirikan tempat suci untuk Dewi Tara. Raja mengabulkannya dan menghadiahkan Desa Kalasan kepada para rahib. Dewi Tara sendiri adalah dewi kasih sayang dan pelindung bagi umat Buddha.

c) Candi Borobudur

Candi Borobudur terletak di Desa Budur, Magelang, Jawa Tengah. Borobudur berasal Bari kata "bara" dan "budur". Kata "bara" berasal dari kata "wihara" atau "biara" dari bahasa Sanskerta yang berarti kuil atau asrama, sedangkan kata "budur" diperkirakan berasal dari kata "beduhur" artinya di atas. Jadi, Borobudur dapat diartikan sebagai biara yang berada di atas bukit. Candi Borobudur bercorak Buddha dan didirikan oleh Dinasti Syailendra pada zaman Mataram Kuno. Bentuk candi Borobudur yang berupa punden berundak menggambarkan adanya akulturasi budaya India dengan budaya asli Indonesia dari zaman Megalithikum. Berdasarkan ajaran Buddha Mahayana, Candi Borobudur merupakan Dasya-bodhisatwa-bhumi, artinya tempat mencapai ke-Buddha-an meialui sepuluh tingkat bodhisatwa.

Borobudur bersusun tiga tingkat, yaitu Kamadhatu, Rupadhatu, dan Arupadhatu dengan relief sepanjang 4 km dan Arca Buddha berjumlah lebih dari 500 buah. Pada seluruh dinding Borobudur, terdapat sebelas seri relief yang memuat kurang-lebih dari 1.460 buah adegan. Relief-relief tersebut memuat berbagai kisah; cerita Buddha, surga dan neraka, dan kisah-kisah dari kitab yang terkenal seperti cerita Karmawibhangga. Namun, sebagian relief lain masih belum dapat diartikan ceritanya. Di atas puncak Borobudur ini terdapat sebuah stupa yang paling besar. Di setiap stupa terdapat Arca Buddha dalam berbagai posisi.

d) Candi Mendut

Candi Mendut terletak 2 km arah selatan dari Candi Borobudur, juga merupakan candi Buddha dan didirikan raja Mataram pertama dari Dinasti Syailendra, Raja Indra. Dengan demikian, usianya lebih tua dari Borobudur. Di dalam candi terdapat tiga patung Sang Buddha. Masing-masing `adalah. patung Buddha Cakyamurti yang duduk bersila dan bersikap sedang berkhotbah; patung Awalokiteswara, yaitu Boddhi-satwa penolong manusia; dan patung Maitreya, yaitu Boddhisatwa pembebas manusia di alam akhirat. Awalokiteswara atau Avaloki-teshvara adalah patung Buddha dengan amithaba di mahkotanya yang melambangkan dharma, sedangkan Padmapani atau Vajrapani merupakan patung Buddha yang memegang bunga teratai merah di tangannya sebagai lambang sangha. Pada dinding candi terdapat relief cerita fabel (cerita dunia binatang).

e) Candi Pawon

Candi Pawon berada di antara Borobudur dan Mendut yang juga bercorak Buddha. Candi Pawon diperkirakan berasal dari masa yang sama dengan Borobudur—Mendut. Bahan dasar candi ini adalah bati andesit. Tubuh candi dihiasi ukiran pohon kalpataru yang dipahat dengan sangat halus. Namun, arca-arca di dalamnya sudah hilang. Di atas pintu masuk, terdapat hiasan bermotif kala makara, yaitu relief berupa makhluk surga, singa, pohon, dan sulur-sulur bunga teratai. Seluruh badan candi dihiasi dagoba-dagoba.

f) Kompleks Candi Plaosan

Kompleks Candi Plaosan berlokasi di Desa Plaosan, Klaten. Kompleks candi ini terdiri atas Plaosan Lor (utara) dan Plaosan Kidul (selatan). Kelompok candi utara bentuknya Iebih besar daripada yang ada di selatan. Berbeda dengan kebanyakan candi yang ada di Jawa Tengah, Candi Plaosan ini meng-hadap ke barat. Kompleks ini didirikan atas perintah Raja Mataram, Rakai Pikatan yang beragama Hindu dan Pramodawardhani (Sri Kaluhunan) istri Rakai Pikatan yang beragama Buddha dari Dinasti Syailendra. Kompleks bagian utara terbagi atas dua halaman dan pada setiap halaman terdapat candi induk. Kedua halaman tersebut dikelilingi oleh tembok dalam dan luar yang jaraknya agak berjauhan. Pada halaman di antara kedua tembok keliling itu terdapat 58 candi perwara dan 128 stupa. Tiriggi stupa Candi Plaosan lebih dari 7 meter.

g) Candi Sari

Candi Sari disebut juga Candi Bendah, merupakan candi bercorak Buddha, yang Iokasinya tidak jauh dari Candi Kalasan. Candi Sari diduga dibangun bersamaan dengan Candi Kalasan. Alasannya arsitekturnya yang tidak jauh berbeda. Di depan pintu masuk terdapat dua raksasa (Dwarapala) yang memegang gada dan ular sebagai penjaga candi. Candi Sari ini merupakan wihara dengan panjang 17,32 m dan lebar 10 m.

2) Candi Jawa iengah bagian Utara

Pada corak candi Jawa Tengah bagian utara setiap candi berdiri sendiri Yang melambangkan pemerintahan demokrasi. Contoh candi Jawa Tengah bagian utara-sebagai berikut.

a) Kompleks Candi Dieng 

Komplek Candi Dieng berdiri di dataran tinggi Dieng, Wonosobo, dibangun oieh Wangsa Sanjaya dari Mataram pada abad ke-8 hingga ke-9 M. Candi-candi yang ada di komplek ini bercorak Hindu dan merupakan tempat ziarah raja-raja Mataram. Nama-nama candi yang terdapat di komplek ini semuanya diambil dari dunia pewayangan, seperti Puntadewa, Bima, Arjuna, Gatotkaca, Semar, Sumbadra, dan Srikandi.

b) Kompleks Candi Gedong Songo

Komplek ini terletak di lereng Gunung Ungaran, Ambarawa, didirikan pada abad ke-7 sampai ke-8 M oleh Sanjaya sebagai penghormatan terhadap Dewa Trimurti umat Hindu, khususnya Siwa. Candi-candi di komplek ini berjumlah sembilan (songo dalam bahasa Jawa). Bangunan yang ini termasuk candi tertua yang ada di Jawa.

c) Candi Canggal

Candi Canggal ditemukan di daerah Sleman dan di tempat didirikan candi ini terdapat Prasasti Canggal yang menceritakan asal-usul Dinasti Sanjaya.

3) Candi di Jawa Timur

Corak candi di Jawa Timur menggambarkan susunan masyarakat federal, dimana raja berdiri di belakang mempersatukan wilayah-wilayah di bawahnya. Dalam corak ini, candi utama ada di latar belakang bangunan-bangunan candi yang lebih keci.. Secara garis besar, ciri-ciri candi yang terdapat di Jawa Timur sebagai berikut.

a) Bentuk bangunan ramping.

b) Atapnya bertingkat-tingkat dan puncaknya berbentuk kubus.

c) Makara (patung atau relief yang berwujud binatang "campuran") tidak ada dan pintu relung hanya ada ambangnya saja yang diberi kepala Batara.

d) Reliefnya timbul sedikit dan bersifat simbolis, menyerupai karakter wayang kulit (satu dimensi).

e) Candi (utama) terletak di bagian belakang komplek.

f) Kebanyakan menghadap ke arah barat dan terbuat dari bata.

Berikut ini nama-nama candi yang terletak di Jawa Timur.

a) Candi Badut 

Candi Badut merupakan candi Hindu, terletak di Desa Dinoyo, sebelah barat-laut Malang. Di Desa Dinoyo ditemukan sebuah prasasti berangka tahun 760 M, berhuruf Kawi dan bahasa Sanskerta. Prasasti Dinoyo ini menceritakan bahwa pada abad ke-8 M ada sebuah kerajaan yang berpusat di Kanjuruhan (sekarang Desa Kanjuron) di Jawa Timur. Rajanya bernama Dewa Singha, mempunyai putera yang bernama Limwa. Limwa ini lalu menggantikan ayahnya menjadi raja dengan nama Gajahyana. Gajahyana kemudian mendirikan sebuah tempat pemujaan untuk Dewa Agastya. Patung Agastya ini dahulu terbuat dari kayu cendana, kemudian diganti dengan arca dari batu hitam. Peresmian arca tersebut dilakukan pada tahun 760 dan dipimpin oleh sejumlah pendeta Hindu.

Pada saat itu Raja Gajahyana menghadiahi para pendeta sebidang tanah, binatang lembu, sejumlah budak atau pekerja, dan segala keperluan untuk upacara keagamaan. la memerintah agar didirikan sejumlah bangunan asrama untuk keperluan kaum Brahmana dan tamu. Diperkirakan, bangunan asrama tersebut salah satunya adalah Candi Badut ini. Namun, dalam candi ini tak terdapat arca Agastya, melainkan sebuah lingga. Mungkin sekali lingga ini sebagai lambang Agastya, yang memang selalu digambarkan sebagai Siwa dalam wujud sebagai Batara Guru.

b) Candi Kidal

Candi Kidal Ietaknya 7 km sebelah tenggara Candi Jago, antara Malang dan Tumpang. Candi ini rnulanya sebagai tempat penyimpanan abu jenazah Anusapati Raja Singasari. Di dalamnya terdapat arca Anusapati dalarn wujud Dewa Siwa. Bangunan ini mulai berfungsi sebagai tempat pemujaan dewa sekitar tahun 1248 M. Candi ini terbuat dari batu alam. Pada candi Hindu setinggi 12,5 m ini terdapat pahatan cerita Garuda yang mencuri amarta, yaitu "air kehidupan".

c) Candi Jago

Candi Jago (Negarakertagama menyebutnya Candi Jajaghu) merupakan candi Siwa-Buddha (agama percampuran), disebut juga Candi Tumpang karena terletak di Desa Tumpang, sebelah timur Malang. Candi ini dibangun oleh Raja Kertanegara dari Singasari sebagai penghormatan terhadap Wisnuwardhana, ayahnya. Arsitekturnya bersusun tiga (berundak) dengan tubuh candi terletak di bagian belakang kaki candi.

d) Candi Singasari

Candi Singasari merupakan Candi Siwa yang besar dan tinggi, berada 10 km dari Malang, di sekitar ibukota Singasari dahulu. Candi ini merupakan tempat pendarmaan Kertanegara yang digambarkan sebagai Bhairawa (Kertanegara juga disucikan sebagai Siwa dan Buddha di Candi Jawi). Bagian atas candi melambangkan puncak Mahameru, kediaman para dewa dalam mitologi Hindu. Candi ini dibuat pada masa Hayam Wuruk Majapahit. Pintu candi ini berhiaskan patung Kala (Dwarapala). Pada pintu dan tangga tidak terdapat lagi makara, hanya motif yang serupa garis-garis dan sulur-sulur bunga. Pengaruhnya gaya Candi Singasari terlihat sekali pada patung Bhairawa di Sungai Langsat, Bukittinggi di kerajaan Minangkabau, Sumatra. Patung Ken Dedes di Candi Singasari ini digambarkan sebagai Dewi Prajnaparamita, Dewi kebijaksanaan.

e) Kompleks Candi Panataran

Kompleks Candi Panataran terletak 11 km dari Blitar, tepatnya di Desa Panataran, Kecamatan Nglegok. Komplek ini didirikan-sejak pemerintahan Kediri, lalu banyak mengalami renovasi semasa pemerintahan Majapahit. Bangunan utama (Candi Panataran) selesai semasa pemerintahan Hayam Wuruk. Kompleks ini semula dikelilingi ternbok dengan gerbang masuk di sisi barat namun kini tinggal sisa-sisanya, antara lain dua buah arca Dwarapala, yaitu arca raksasa penjaga pintu candi.

f) Candi Bajang Ratu

Candi ini sebetulnya merupakan gapura yang terbuat dari batubata di daerah Trowulan, bekas ibukota Majapahit. Jadi bukan tempat abu jenazah raja atau tempat pendarmaan. Gapura Bajang Ratu ini berukiran dari atas sampai bawah. Jenis gapura ini tertutup, berbeda dengan Waringin Lawang, sebuah gapura di daerah Trowulan juga yang termasuk Candi Bentar. Melihat kelaziman di Bali, Candi Bentar adalah gapura masuk ke gugusan keraton Majapahit. Sedangkan gapura tertutup ada di dalam gugusan keraton, maka Bajang Ratu termasuk dalam keraton Majapahit atau gugusan sebuah tempat anggota kerajaan. Menurut cerita setempat, gapura ini dilalui bangsawan Majapahit yang lari ketika Majapahit diserang oleh pasukan Islam dari Demak dan Kudus pada tahun 1478. Menurut tradisi setempat, seorang pegawai negeri tak diperbolehkan naik ke atas gapura, karena ia dapat terkena sial dan akan dipecat dari jabatannya.

4) Candi-candi di Luar Jawa

Selain di Jawa Tengah dan Timur, candi-candi banyak ditemukan di Sumatra, Jawa Barat, dan Bali. Candi-candi yang terdapat di Sumatra bercorak Mahayana. Hampir seluruhnya peninggalan Sriwijaya. Bahan bangunannya terbuat dari bata merah, bukan batu andesit seperti di Jawa. Candi-candi di Bali dan Jawa Barat bercorak Hindu.


a) Kompleks Muara Takus, Riau

Kompleks Candi Muara Takus didirikan semasa Sriwijaya, terletak di antara Sungai Kampar Kanan dan Kampar Kiri, Riau, Jambi, Sumatera. Di komplek Candi Muara Takus ada beberapa candi seperti Candi Tua, Candi Bungsu, dan Candi Mahligai Kompleks percandian (stupa) lainnya adalah Komplek Candi Padang Lawas. yang terletak di Sumatra Utara dan bercorak Siwaisme dan Budhisme. Di daerah Tapanuli terdapat komplek Candi Gunung Tua yang bercorak Buddha.

b) Kompleks Candi Padas di Tampaksiring, Bali

Kompleks Candi Padas ini terletak di Gunung Kawi, daerah Tampaksiring Bali. Candi ini didirikan sebagai makam Raja Bali yang bernama Anak Wungsu putera terakhir Raja Udayana. Jadi, Anak Wungsu adalah adik dari Airlangga Raja Medang Kamulan. Anak Wungsu mulai memerintah pada 1049. semasa pemerintahnnya, Anak Wungsu meninggalkan 28 buah prasasti. Oleh rakyatnya ia dianggap penjelmaan Dewa Wisnu karena ia penganut Hindu-Waisnawa.

c) Kompleks Candi Muaro Jambi

Kompleks Candi Muaro Jambi didirikan semasa Kerajaan Melayu. Kompleks candi terdiri atas 12 bangunan yang memperlihatkan corak Buddha Mahayana.

d) Kompleks Candi Gunung Tua (Biaro Bahal) di Padang Lawas

Kompleks Candi Gunung Tua terletak di Padang Lawas, Tapanuli Selatan, Sumatra Utara. Di lokasi ini pernah ditemukan sisa-sisa biara (wihara) Buddha dan sebuah arca Lokananta dengan arca Dewi Tara yang memuat tulisan dalam bahasa Batak. Arca tersebut dibuat oleh seniman bernama Surya tahun 1042.

Apabila dibandingkan antara kelompok-kelompok candi yang terdapat di Jawa Tengah dengan Jawa Timur terdapat hal-hal yang sangat menarik. Kelompok candi di Jawa Tengah seperti Borobudur, Pawon, Mendut dan Prambanan yang sebagian besar merupakan peninggalan kerajaan Mataram adalah kelompok bangunan candi yang difungsikan sebagai tempat pemujaan keagamaan, baik Hindu ataupun Buddha. Sementara kelompok Candi yang terdapat di Jawa Timur seperti candi Kidal, Jago, Panataran, merupakan candi yang difungsikan sebagai makam keluarga raja. Jumlah candinya lebih banyak tetapi wujudnya kecil-kecil bila dibandingkan dengan kelompok candi Borobudur atau Prambanan. Candi-candi yang terdapat di Jawa Timur merupakan peninggalan Kerajaan Singasari sampai Majapahit. Meskipun berwujud candi Siwa atau Buddha, tetapi pada hakikatnya adalah candi makam dan bukan untuk pemujaan Siwa atau Buddha.

b. Stupa

Di Asia Tenggara dan Timur, stupa jugs didirikan sebagai pengakuan terhadap Buddhisme di wilayah bersangkutan. Stupa terdiri atas tiga bagian, yaitu andah, yanthra, dan cakra. Andah melambangkan dunia bawah, tempat manusia yang masih dikuasai hawa nafsu, Yanthra merupakan suatu benda untuk memusatkan pikiran saat bermeditasi, dan Cakra melambangkan nirvana atau nirwaria, tempat para dewa bersemayam. Stupa di Indonesia memiliki kekhasan tersendiri. Di Indonesia stupa sering merupakan bagian candi atau kompleks candi tertentu, seperti pada Candi Mendut, Borobudur, Jawi, dan Candi Muara Takus.

c. Relief

Masuknya pengaruh India juga membawa perkembangan dalam bidang seni rupa, seni pahat, dan seni ukir. Hal ini dapat dilihat pada relief atau seni ukir yang dipahatkan pada bagian dinding-dinding candi. Relief merupakan pahatan yang terdapat pada dinding candi.

1) Relief pada Candi Borobudur

Candi Borobudur memiliki relief berikut ini.

a) Cerita Karmawibhangga pada dinding terbawah (Kamadhatu) dari Candi Borobudur.

b) Cerita Lalitawistara pada dinding tengah (Rupadhatu) dari Candi Borobudur.

c) Cerita Jatakarnala-Awadana terdapat pada dinding Candi Borobudur.

d) Cerita Gandawyuha-Bhadracari terdapat dinding lorong kedua sampai dengan keempat Candi Borobudur.

e) Riwayat hidup Sang Buddha pada dinding Candi Borobudur.

Keseluruhan relief yang ada di Candi Borobudur mencerminkan ajaran sang Buddha. Seorang budhis asal India bernama Atisha, pada abad ke-10 pernah berkunjung ke Borobudur. Berkat mengunjungi Borobudur dan berbekal naskah ajaran Buddha dari Serlingpa (salah satu Raja Kerajaan Sriwijaya), Atisha mampu mengembangkan ajaran Buddha. la menjadi kepala biara Vikramasila dan mengajari orang Tibet tentang cara mempraktikkan Dharma. Enam naskah dari Serlingpa pun diringkas menjadi sebuah inti ajaran disebut "The Lamp for the Path to Enlightenment" atau yang lebih dikenal dengan nama Bodhipathapradipa.

2) Relief pada Candi Prambanan

Pada Candi Prambanan terdapat relief cerita Ramayana pada dinding Candi Siwa dan diteruskan pada pagar langkan Candi Brahma. Pada Candi Prambanan juga terdapat cerita Kresnayana pada dinding Candi Wisnu. Sementara itu, pada candi-candi lain terdapat relief berikut ini.

a) Cerita Kresnayana, Parthayana, dan Kunjarakarna pada dinding Candi Jajaghu. Selain itu, pada candi ini juga ditemui tokoh-tokoh Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong (Punakawan).

b) Cerita Ramayana dan Kresnayana pada dinding Candi Penataran.

c) Cerita Arjunawiwaha dan adegan Sri Tanjung dibunuh Sidapaksa terdapat pada dinding Candi Surawana.

d. Istana atau keraton

Keraton (istana) merupakan bangunan tempat tinggal raja-raja. Peninggalan istana pada masa Hindu-Buddha jarang ada yang utuh ketika sampai pada generasi sekarang. Sebagian tinggal puing-puing dan fondasi dasarnya saja, sebagian lagi tidak ada bekasnya. Istana-istana pada masa Hindu-Buddha didirikan dengan fondasi dari batu atau bata. Biasanya dindingnya terbuat dari kayu, sedangkan atapnya dari daun sirap. Oleh karena itu, kini yang tersisa hanyalah fondasi-fondasinya. Salah satu keraton peninggalan Hindu-Buddha yang sudah berupa puing adalah Keraton Boko. Keraton ini terletak 2 km dari Candi Prambanan. Disebut Keraton Boko karena menurut legenda disitulah letak Kerajaan Boko, yaitu asal Roro Jonggrang sebelum dilamar oleh Bandung Bondowoso.

e. Bangunan lain yang mendapat pengaruh Hindu-Buddha

1) Patirtan atau pemandian, misalnya patirtan di Jalatunda dan Belahan (lereng Gunung Penanggungan), di Candi Tikus (Trowulan), dan di Gona Gajah (Gianyar, Bali).

2) Candi Padas di Gunung Kawi, Tampaksiring. Di tempat ini terdapat sepuluh candi yang dipahatkan seperti relief pada tebing-tebing di Pakerisan.

3) Gapura yang berbentuk candi dan memiliki pintu keluar masuk. Contoh candi semacam ini adalah Candi Plumbangan, Candi Bajang Ratu, dan Candi Jedong. Jenis gapura lainnya yang berbentuk seperti candi yang dibelah dua untuk jalan keluar masuk. Contoh candi semacam ini adalah Candi Bentar dan Candi Wringin Lawang. 

4) Ulan dan Satra merupakan semacam pesanggrahan atau tempat bermalam peziarah.

5) Sima adalah daerah perdikan yang berkewajiban memelihara bangunan suci di suatu daerah.

6) Patapan adalah tempat melakukan semedi.

7) Sambasambaran yang berarti tempat persembahan.

8) Meru merupakan bangunan berbentuk tumpang yang melambangkan Gununo Mahameru sebagai tempat tinggal dewa-dewa agama Hindu.

f. Arca

Arca adalah patung yang dibuat dari batu. Peninggalan Hindu-Buddha umumnya terbuat dari batu yang berkaitan dengan benda-benda yang dipahat mirip orang atau binatang sehingga Iebih baik disebut arca. Sebagai akibat akulturasi budaya pernujaan arwah leluhur dengan agama Hindu-Buddha maka beberapa keluarga raja dalam bentuk arca yang ditempatkan di candi makam. Arca-arca dewa tersebut dipercaya merupakan lambang keluarga raja yang dibuatkan candi dan tidak mustahil termasuk di dalamnya kepribadian dan watak dari keluarga raja tersebut. Oleh karena itu, arca dewa tersebut sering diidentikkan dengan arca keluarga raja. Seni arca yang berkembang di Indonesia memperlihatkan unsur kepribadian dan budaya lokal, sehingga bukan merupakan bentuk peniruan dari India. Biasanya arca disimpan dalam candi sebagai penghormatan terhadap dewa dan raja yang disembah.

Beberapa contoh raja yang diarcakan adalah Raja Rajasa yang diperdewa sebagai Siwa di candi makam Kagenengan, Raja Anusapati sebagai Siwa di candi makam Kidal, Raja Wisnuwardhana sebagai Buddha di candi makam Tumpang, Raja Kertanegara sebagai Wairocana Locana di candi makam Segala dan Raja Kertarajasa Jayawardhana sebagai Harihara di candi makam Simping. Dengan demikian, arca dan patung masa Hindu-Buddha dapat dibedakan atas corak Hindu dan corak Buddha. Arca Hindu biasanya berwujud dewa-dewi, raja, dan makhluk mistik seperti makara.

Arca seorang raja biasanya tidak ditampilkan sebagaimana adanya melainkan menyerupai dewa atau dewi tertentu yang diidentikkan dengan raja bersangkutan. Sedangkan umumnya arca bercorak Buddha berwujud Sang Buddha dalam berbagai posisi, meskipun ada jugs sejumlah Arca Bodhisatwa. Arca Sang Buddha tampil dalam berbagai posisi dengan sikap tangan (mudra) menghadap arah mata angin tertentu.

g. Prasasti

Prasasti adalah piagam atau dokumen yang ditulis pada bahan yang keras dan tahan lama. Penemuan prasasti pada sejumlah situs arkeologi, menandai akhir dari zaman Praaksara. Kata "prasasti" berasal dari bahasa Sanskerta dengan arti sebenarnya adalah "pujian". Namun, kemudian dianggap sebagai "piagam, maklumat, surat keputusan, undang-undang atau tulisan". Di kalangan arkeolog prasasti disebut "inskripsi", sementara di kalangan orang awam disebut batu bertulis atau batu bersurat. Meskipun berarti "pujian", tidak semua prasasti mengandung puji-pujian (kepada raja). Sebagian besar prasasti diketahui memuat keputusan mengenai penetapan sebuah desa atau daerah menjadi sima atau daerah perdikan. Beberapa prasasti yang ditemukan di Indonesia pada masa Hindu-Buddha, antara lain:

1) Prasasti Kerajaan Tarumanegara, antara lain Prasasti Ciaruteun, Kebun Kopi, Tugu, Lebak, Jambu, Muara Cianten, dan Pasir Awi yang semuanya ditulis dalam huruf Pallawa dan Bahasa Sanskerta.

2) Prasasti di Sumatra Selatan, seperti Prasasti Kedukan Bukit, Talang Tuo, Kota Kapur, Karang Berahi, dan Telaga Batu. Prasasti ini menggunakan bahasa Melayu dan huruf Pallawa yang dipahat dan ditulis sekitar abad ke-7 pada masa Kerajaan Sriwijaya.

Post a Comment for "Akulturasi Kebudayaan Nusantara dan Hindu-Buddha"