Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Materi Sejarah Indonesia: Menelusuri Asal-Usul Nenek Moyang Bangsa Indonesia

 


Pola kehidupan manusia mengalami banyak perubahan yang terjadi secara perlahan-lahan secara kontinuitas dan berlangsung dari waktu ke waktu. Perubahan tersebut berawal dari hal yang sederhana menjadi sesuatu yang kompleks dalam berbagai aspek kehidupan. Salah satu contoh adalah tentang penggunaan peralatan dari batu. Pada masa Praaksara, “batu” pernah menduduki tahapan penting dalam kehidupan. Seiring dengan perubahan waktu, ternyata peralatan dan batu masih digunakan manusia pada zaman sekarang (modern). Contohnya, pemakaian cobek (di beberapa daerah mungkin punya sebutan lain) adalah peralatan dapur yang terbuat dari batu yang masih bisa dijumpai saat ini. Oleh karena itu, kehidupan manusia pada zaman Praaksara tidak boleh diabaikan begitu saja. Untuk mengetahui apa, siapa, dan bagaimana kehidupan manusia zaman praaksara, Anda dapat mempelajari materi berikut ini.

1. Sebelum Mengenal Tulisan

Masyarakat Indonesia sebelum mengenal aksara sudah memiliki tradisi sejarah. Maksud tradisi sejarah adalah bagaimana suatu masyarakat memiliki kesadaran terhadap masa lalunya. Kesadaran tersebut kemudian dia rekam dan diwariskan kepada generasi berikutnya. Perekaman dan pewarisan tersebut kemudian menjadi suatu tradisi yang hidup tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.

Manusia purba tidak mengenal tulisan dalam kebudayaannya. Periode kehidupan ini dikenal dengan zaman praaksara. Praaksara berasal dari dua kata, yakni pra yang berarti sebelum dan aksara yang berarti tulisan. Dengan demikian, zaman praaksara adalah masa kehidupan manusia sebelum mengenal tulisan. Karena belum ada tulisan maka untuk mengetahui sejarah dan hasil-hasil kebudayaan manusia adalah dengan melihat beberapa sisa peninggalan yang dapat kita temukan. Masa praaksara berlangsung sangat lama jauh melebihi periode kehidupan manusia yang sudah mengenal tulisan. Oleh karena itu, untuk dapat memahami perkembangan kehidupan manusia pada zaman praaksara kita perlu mengenali tahapan-tahapannya.

Mempelajari masa praaksara memiliki arti yang penting bagi bangsa Indonesia. Berikut arti penting yang dimaksud.

a. Memiliki kesadaran tentang asal usul manusia

Semakin berbudaya seseorang atau masyarakat maka semakin dalam kesadaran kolektifnya tentang asal-usul tradisi. Manusia yang melupakan budaya bangsanya akan mudah terombang-ambing oleh terpaan budaya asing sehingga dapat menghilangkan jati diri bangsa.

b. Kita bisa belajar dari capaian terbaik para pendahulu kita

Manusia tidak selamanya berhasil dalam mengarungi kehidupan ini. Kegagalan demi kegagalan juga sering dihadapi. Hal yang terpenting bagaimana bisa bangkit atau mampu mengatasi kegagalan yang terjadi sehingga menjadi inspirasi bagi kehidupan selanjutnya.

Untuk menyelidiki zaman Praaksara maka para sejarawan menggunakan ilmu bantu dari disiplin ilmu lain, seperti ilmu geologi, paleoantropologi, paleontologi, arkeologi, biologi.

a. Geologi: ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang lapisan bumi.

b. Paleoantropologi: ilmu pengetahuan yang mempelajari bentuk-bentuk fisik manusia dari mulai manusia pertama sampai menjelang manusia memasuki zaman Sejarah.

c. Paleontologi: ilmu yang mempelajari tentang fosil-fosil.

d. Arkeologi: ilmu yang mengkaji bukti-bukti atau tinggalan fisik, seperti artefak, monumen, candi.

e. Biologi: ilmu yang mengkaji ragam hayati makhluk hidup.

Selain dari ilmu bantu dari ilmu lainnya, zaman, praaksara juga dapat diselidiki dari benda-benda yang sezaman seperti fosil, artefak, ecofak, dan ifsefak.

a. Fosil 

Secara umum fosil diartikan sisa-sisa, jejak, atau cetakan dari makhluk hidup (tanaman, binatang, dan manusia) yang terawetkan dalam lapisan bumi selama waktu geologis atau praaksara. Fosil dalam ilmu sejarah dipahami sebagai sisa-sisa tulang belulang hewan dan manusia purba yang sudah membatu. Tidak semua benda sisa-sisa peninggalan masa lalu disebut fosil. Ada persyaratan sebuah benda dapat disebut fosil, antara lain sisa-sisa organisme; terawetkan secara alamiah; pada umumnya padat/kompak/keras; berumur lebih dari 11.000 tahun.

b. Artefak (Artifact)

Artefak atau artifact dalam istilah arkeologi mengandung pengertian benda (bahan alam) yang jelas dibuat oleh (tangan) manusia atau jelas menarnpakkan (observable). adanya jejak-jejak buatan manusia padanya (bukan benda alamiah semata) melalui teknologi pengurangan ataupun penambahan pada benda alam tersebut. Ciri penting dalam konsep artefak adalah bahwa benda ini dapat bergerak atau dipindahkan (movable) oleh tangan manusia dengan mudah (relatif) tanpa merusak atau menghancurkan bentuknya.

c. Ecofak

Ecofak adalah objek yang ditemukan di sebuah situs arkeologi dan membawa signifikasi arkeologi, namun sebelumnya tidak memperoleh penanganan yang memadai oleh manusia.

d. Ifsefak

Ifsefak adalah faktor lingkungan yang diubah oleh manusia pada zaman praaksara demi terpenuhinya kebutuhan, tetapi mereka tetap bergantung dengan alam.

2. Pembentukan Bumi dan Kepulauan Indonesia

Pada 7 Desember 2016 yang lalu wilayah Pidie, Aceh, telah diguncang gempa bumi yang hebat. Akibatnya, ratusan bangunan hancur dan juga nyawa melayang. Fenomena alam yang terjadi tersebut (gempa bumi, tsunami, dan gunung meletus) tidak terpisahkan dari aktivitas panjang bumi itu sendiri sejak proses pembentukannya ribuan juta tahun yang lalu. Proses tersebut secara geologis mengalami beberapa tahapan atau pembabakan waktu.

a. Teori pembentukan bumi

Bumi telah berumur kurang lebih 2.500 juta tahun. Sejarah terbentuknya bumi ini sangat panjang. Pada mulanya, bumi berbentuk gumpalan gas yang terus-menerus berputar dan akhirnya membentuk bola yang padat. Sebelum akhirnya dapat didiami oleh makhluk hidup, bumi berproses secara perlahan-lahan. Kulit bumi mengalami beberapa kali perubahan. Gejala alam gunung meletus, gempa bumi, tanah longsor, dan banjir seringkali terjadi. Gejala alam tersebut turut mengubah penampakan muka bumi.

Selanjutnya, berlangsung zaman pencairan es atau zaman glasial yang terjadi beberapa kali. Pada zaman ini, gletser (sungai es) berubah-ubah. Daerah tropis yang terkena pelebaran es mulai mengalami zaman Pluvial (zaman hujan). Proses perubahan dan pembentukan kulit bumi ini berlangsung lama hingga membentuk lapisan-lapisan kulit bumi.

Dalam ilmu praaksara, lapisan kulit bumi sangat berguna sebagai materi analisis kehidupan dan umur manusia yang pernah hidup di bumi. Biasanya, pada setiap lapisan terdapat peninggalan yang berupa tulang-tulang, peralatan berburu, atau peralatan rumah tangga. Tulang belulang manusia atau hewan dan sisa tumbuhan yang telah membatu disebut fosil. Sejarah perkembangan bumi sampai sekarang dapat dibagi menjadi empat zaman, yaitu arkaekum, palaeozoikum, mesozoikum, dan neozoikum.

1) Arkaekum (Azoikum)

Masa Arkaekum merupakan masa awal, artinya masa awal pembentukan bumi dari inti sampai kulit bumi. Sementara itu, Azoikum (Yunani: a, artinya tidak, sedangkan zoon artinya hewan), yaitu zaman sebelum adanya kehidupan. Pada zaman ini, kondisi bumi belum stabil, udara masih sangat panas, kulit bumi masih dalam proses pembentukan. Kondisi yang demikian tidak memungkinkan terdapat kehidupan di bumi. Zaman ini berlangsung sekitar 2.500 juta tahun yang lalu.

2) Palaeozoikum (Zaman Primer)

Palaeozoikum, artinya zaman bumi purba, maksudnya masa ketika di permukaan bumi mulai terbentuk hidrosfer dan atmosfer. Palaeozoikum berlangsung kira-kira 340 juta tahun yang lalu. Saat itu sudah mulai ada tanda-tanda kehidupan dengan munculnya organisme bersel tunggal yang kemudian berkembang menjadi organisme bersel banyak (multiseluler). Kemudian muncullah organisme-organisme yang memiliki organ tubuh lebih kompleks, dari jenis invertebrata bertubuh lunak (ubur-ubur, cacing, koral), ikan tanpa rahang (landak laut, bintang lili laut), dan beberapa hewan laut lainnya. Zaman ini ditandai dengan munculnya kehidupan darat yang berasal dari air. Pada masa itu telah muncul tumbuhan dan hewan dan berkembang pertama kalinya, termasuk tumbuhan paku, paku ekor kuda, amfibi, serangga, dan reptilia.

3) Mesozoikum

Zaman Mesozoikum disebut juga zaman sekunder (zaman kedua). Zaman Mesozoikum berlangsung ±140 juta tahun yang lalu. Pada masa ini, kehidupan berkembang dengan sangat cepat. Jumlah ikan, amfibi, dan reptil makin banyak. Reptil mencapai bentuk yang luar biasa besarnya, seperti dinosaurus (panjangnya 12 meter) dan atlantosaurus (panjangnya 30 meter). Fosil reptil raksasa ini banyak ditemukan 0 hampir di seluruh dunia. Pada masa ini, burung dan binatang menyusui sebenarnya juga sudah ada, namun masih rendah tingkatannya.

4) Neozoikum (Kainozoikum)

Neozoikum atau Kainozoikum, artinya zaman baru. Zaman Neozoikum berumur kira-kira 60 juta tahun yang lalu. Pada zaman ini keadaan bumi sudah membaik, perubahan cuaca tidak begitu ekstrem, dan kehidupan berkembang dengan pesat. Zaman ini dibagi menjadi zaman Tersier dan zaman Kuarter.

a) Zaman Tersier

Setelah zaman reptil raksasa punah, terjadi perkembangan jenis kehidupan lain, seperti munculnya primata dan burung tidak bergigi berukuran besar yang menyerupai burung unta. Sementara itu, muncul pula fauna laut, seperti ikan dan moluska, sangat mirip dengan fauna laut yang hidup sekarang. Adapun untuk tumbuhan berbunga terus berevolusi menghasilkan banyak variasi, seperti semak belukar, tumbuhan merambat, dan rumput.

b) Zaman Kuarter

Zaman Kuarter berlangsung 600.000 tahun yang lalu. Pemunculan dan kepunahan hewan dan tumbuhan terjadi silih berganti, seiring dengan perubahan cuaca secara global. Zaman Kuarter dibagi menjadi kala Pleistosen dan kala Holosen.

(1) Kala Pleistosen (Dilluvium)

Kala Pleistosen berlangsung 600.000 tahun yang lalu. Pada kala Pleistosen paling sedikit telah terjadi lima kali zaman Es (zaman Glasial). Pada zaman Glasial sebagian besar Eropa bagian utara, Amerika bagian utara, dan Asia bagian utara ditutupi es, begitu pula Pegunungan Alpen dan Himalaya. Keadaan flora dan fauna yang hidup pada kala Pleistosen sangat mirip dengan flora dan fauna yang hidup pada masa sekarang. Dalam kehidupan manusia purba, pada era inilah muncul manusia purba jenis Pithecanthropus erectus.

(2) Kala Holosen (Alluvium) Zaman Holosen dimulai 20.000 tahun yang lalu hingga dewasa ini. Pada masa ini muncul manusia cerdas (Homo sapiens) yang oleh sebagian ahli dianggap sebagai nenek moyang dari manusia modern.

b. Terbentuknya Kepulauan Indonesia

Menurut ilmu kebumian yang lazim saat ini, pembentukan Kepulauan Indonesia terkait dengan "teori tektonik lempeng" atau tectonic plate, yaitu teori yang menjelaskan pergerakan di kulit bumi sehingga memunculkan bentuk permukaan bumi seperti yang sekarang kita diami. Lempeng-lempeng itu selalu bergerak 5-9 cm per tahun. Hal tersebut berdampak pada banyaknya aktivitas vulkanis dan tektonis di Indonesia. Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng, yaitu Lempeng lndo-Australia di selatan, Eurasia di utara, dan Pasifik di timur.

Di bagian timur hingga selatan Kepulauan Indonesia terdapat busur pertemuan dua lempeng benua besar, yaitu Lempeng Eurasia dan Indo-Australia. Di bagian ini Lempeng Eurasia bergerak menuju selatan dan menghujam ke bawah Lempeng lndo-Australia yang bergerak ke utara, Akibatnya terbentuk barisan gunung berapi di sepanjang Sumatra, Jawa hingga pulau-pulau Nusa Tenggara. Daerah ini pun menjadi rawan terjadi gempa.

Di bagian timur terdapat pertemuan dua lempeng benua besar lainnya, yaitu Lempeng Eurasia dan Pasifik. Pertemuan tersebut membentuk barisan gunung api di Kepulauan Maluku bagian utara ke arah bagian utara Pulau Sulawesi menuju Fiipina. Di wilayah barat Nusantara (modern) yang muncul kira-kira era Pleistosen terhubung dengan Asia daratan. Sebelumnya diperkirakan sebagian besar wilayahnya merupakan bagian  dasar lautan. Daratan ini dinamakan Paparan Sunda (Sundaland) oleh kalangan geologiwan. Batas timur daratan lama ini parallel dengan apa yang dinamakan garis Wallace.

Wilayah timur Nusantara di sisi lain secara geografis terhubung dengan Benua Australia dan berumur lebih tua sebagai daratan. Daratan ini pun dikenal sebagai Paparan Sahul dan merupakan bagian dari Lempeng Indo-Australia yang pada gilirannya adalah bagian dari Benua Gondwana. Pada zaman Es terakhir (20.000-10.000 tahun yang lalu) suhu rata-rata bumi meningkat dan permukaan laut naik pesat. Sebagian besar Paparan Sunda tertutup lautan dan membentuk rangkaian perairan Selat Malaka, Laut Tiongkok Selatan, Selat Karimata, dan Laut Jawa. Pada periode inilah terbentuk Semenanjung Malaka, Pulau Sumatra, Pulau Jawa, Pulau Kalimantan, dan pulau-pulau sekitarnya. Di timur, Papua dan Kepulauan Aru terpisah dari daratan utama Benua Australia. Kenaikan muka laut ini memaksa penghuni wilayah tersebut saling terpisah dan mendorong terbentuknya penghuni masyarakat "Nusantara modern".

1) Pulau Sulawesi

Pulau Sulawesi terbentuk akibat pertemuan Lempeng Indo-Australia, Eurasia, dan lempeng mikro lain di daerah tersebut.

2) Pulau Papua dan Kalimantan

Keduanya terbentuk dari pecahan super benua pada awal terbentuknya permukaan bumi. Teori tektonik lempeng menyebutkan bahwa dahulu seluruh daratan di muka bumi ini adalah satu daratan yang sangat luas bernama Pangea, kemudian induk benua ini terpecah menjadi dua, yaitu Gondwana (di utara) dan Laurasia (di selatan). Seiring berjalannya waktu kedua lempeng besar tersebut terpecah-pecah kembali menjadi benua-benua seperti sekarang ini. Asia, Afrika, Amerika, dan Australia dahulunya adalah satu pulau besar. Kalimantan sendiri berada di atas Lempeng Benua Asia, sedangkan Papua termasuk di dalam Lempeng Australia.

3) Pulau-Pulau Kecil

Pulau-pulau kecil, seperti Kepulauan Seribu dan lainnya proses terbentuknya pulau-pulau tersebut sangat sederhana dibandingkan yang lain. Mereka berasal dari endapan pecahan kerang, koral, dan binatang laut lainnya. Semakin lama semakin besar, akhirnya terbentuklah sebuah pulau baru.

Sejarah geologi Nusantara juga memengaruhi flora dan fauna, termasuk makhluk mirip manusia yang pernah menghuni wilayah ini. Sebagian daratan Nusantara dahulu merupakan dasar laut seperti wilayah pantai selatan Jawa dan Nusa Tenggara. Aneka fosil hewan laut ditemukan di wilayah ini. Daerah ini pun dikenal sebagai wilayah karst yang terbentuk dari endapan kapur terumbu karang purba. Endapan batu bara di wilayah Sumatra dan Kalimantan memberi indikasi pernah adanya hutan dari masa Palaezoikum. Laut dangkal di antara Sumatra, Jawa (termasuk Bali), dan Kalimantan, serta Laut Arafuru dan Selat Torres adalah perairan muda yang Baru terbentuk setelah berakhirnya zaman Es terakhir (hingga 10.000 tahun sebelum era modern). Inilah yang menyebabkan ada banyak kemiripan jenis tumbuhan dan hewan di antara ketiga pulau besar tersebut. Flora dan fauna di tiga pulau tersebut memiliki kesamaan dengan daratan Asia (Indocina, Semenanjung Malaya, dan Filipina). Harimau, gajah, tapir, babi hutan, badak, dan berbagai unggas yang hidup di Asia daratan banyak yang memiliki kerabat di ketiga pulau ini.

Berdasarkan penelitian Alfred Russel Wallace, ia membuat kesimpulan bahwa wilayah Indonesia terbagi atas dua wilayah yang berbeda berdasarkan keragaman flora dan faunanya. Pembagian itu adalah Paparan Sahul di di sebelah timur dan Paparan Sunda di sebelah barat. Sebagai zona pembatasnya dikenal sebagai garis Wallace yang membentang dari Selat Lombok sampai Selat Makassar ke arah utara. Fauna yang berada di sebelah timur Garis Wallace disebut Australia Malayan, sedangkan fauna yang berada di sebelah baratnya disebut lndo-Malayan Region.

3. Mengenal manusia purba di Indonesia

Manusia purba atau dikategorikan sebagai manusia yang hidup pada masa tulisan atau aksara belum dikenal, disebut juga manusia prasejarah atau Prehistoric people. Manusia purba diperkirakan telah ada di bumi sejak 4 juta tahun yang lalu. Untuk memenuhi kebutuhan biologisnya, mereka biasa memakan buah-buahan dan tumbuhan yang disediakan alam. Di Indonesia banyak ditemukan fosil tengkorak dan tulang-belulang manusia purba. Manusia purba yang pernah hidup di Kepulauan Indonesia ini banyak jenisnya. Masing-masing mewakili zaman di mana ia hidup.

1) Sangiran dan Trinil wilayah penemuan fosil manusia purba

Indonesia adalah salah satu wilayah yang banyak ditemukan fosil manusia purba. Itu sebabnya para arkeolog banyak yang menyebut bahwa Indonesia adalah "surga" bagi penelitian manusia purba. Walaupun demikian, tidak semua wilayah Indonesia terdapat fosil manusia purba dan peninggalan kebudayaannya. Untuk sementara ini, wilayah yang banyak ditemukan fosil dan artefak terdapat di Pulau Jawa, khususnya Sangiran dan Trinil.

a) Situs Sangiran

Situs Sangiran adalah sebuah kompleks situs manusia purba dari kala Pleistosen yang paling lengkap dan paling penting di Indonesia, bahkan di dunia. Lokasi tersebut merupakan pusat perkembangan manusia dunia yang memberikan petunjuk tentang keberadaan manusia sejak 150.000 tahun yang lalu.

Situs Sangiran memiliki luas kurang lebih 48 km2 dan sebagian besar berada dalam wilayah administrasi Kecamatan Kalijambe, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, 17 kilometer sebelah utara Kota Surakarta, di Lembah Bengawan Solo di kaki Gunung Lawu. Ada sebagian wilayahnya yang merupakan bagian dari Kabupaten Karanganyar (Kecamatan Gondangrejo).

Situs Sangiran pertama kali ditemukan oleh P.E.C. Schemulling tahun 1864 dengan laporan penemuan fosil vertebrata dari wilayah Kalioso, bagian dari wilayah Sangiran. Akan tetapi, sejak dilaporkan oleh Schemulling, situs itu seolah-olah terlupakan dalam waktu yang lama.

Ilmuwan lain yang pernah melakukan penyelidikan di wilayah Sangiran adalah Marie Francois Thomas Dubois orang Belanda. Dubois aktif melakukan eksplorasi pada akhir abad ke-19, namun tidak terlalu intensif karena kemudian ia memusatkan aktivitas di kawasan Trinil, Ngawi. Sejak tahun 1934, ahli antropologi Gustav Heinrich Ralph von Koenigswald lebih dikenal sebagai G.H.R. von Koenigswald juga memulai penelitian di area tersebut, setelah mencermati laporan-laporan berbagai penemuan balung buts (istilah Jawa, artinya tulang raksasa)  oleh warga dan diperdagangkan.

Selain manusia purba, ditemukan pula berbagai fosil tulang belulang hewan-hewan bertulang belakang (vertebrata), seperti buaya (kelompok Gavial dan Crocodilus), Hippopotamus (kuda nil), berbagai rusa, harimau purba, dan gajah purba (Stegodon dan gajah moderen).

b) Situs Trinil

Trinil adalah sebuah desa di pinggiran Bengawan Solo, masuk wilayah administrasi Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Tinggalan purbakala telah lebih dulu ditemukan di daerah ini jauh sebelum von Koenigswald menemukan Sangiran pada 1934.

Ekskavasi yang dilakukan oleh Eugene Dubois di Trinil membawa penemuan sisa-sisa manusia purba yang sangat berharga bagi dunia pengetahuan.

Sebelum penemuannya di Trinil, Eugene Dubois mengawali temuan Pithecantropus erectus di Desa Kedungbrubus, sebuah desa terpencil di daerah Pilangkenceng, Madiun, Jawa Timur. Desa itu berada tepat di tengah hutan jati di lereng selatan Pegunungan Kendeng. Pada saat Dubois meneliti dua horizon/lapisan berfosil di Kedungbrubus ditemukan sebuah fragmen rahang yang pendek dan sangat kekar, dengan sebagian prageraham yang masih tersisa. Prageraham itu menunjukkan ciri gigi manusia bukan gigi kera, sehingga diyakini bahwa fragmen rahang bawah tersebut milik rahang hominid. Pithecantropus itu kemudian dikenal dengan Pithecantropus A. Adapun fosil yang asli dibawa dan disimpan Belanda. Museum itu saat ini dikenal dengan Museum Trinil, berlokasi di Dukuh Pilang, Desa Kawu, Kecamatan Kedunggalar, Kabupaten Ngawi, Provinsi Jawa Timur atau kurang lebih 13 kilometer arah barat pusat Kota Ngawi.

2) Penemuan fosil manusia purba di wilayah Indonesia

Berdasarkan beberapa penelitian yang dilakukan oleh para ahli, dapatlah direkonstruksi beberapa jenis manusia purba yang pernah hidup di zaman praaksara.

a) Meganthropus

Von Koenigswald pada tahun 1936 dan 1941 menemukan fosil-fosil manusia purba di Sangiran pada formasi Pucangan. Dengan demikian, fosil manusia purba tersebut diperkirakan 1-2 juta tahun yang lalu. Fosil yang ditemukan berupa fragmen tulang rahang atas dan bawah serta sejumlah gigi lepas. Setelah diteliti, ternyata fosil itu diperkirakan bertubuh besar, tetapi tidak seberapa tinggi. Oleh karena itu, manusia itu dinamakan Meganthropus palaeojavanicus, artinya manusia raksasa dari Jawa (kata mega artinya besar, anthropus artinya manusia, palaeo artinya paling tua/tertua, sedangkan javanicus artinya Jawa).

Para pakar purbakala berpendapat bahwa Meganthropus palaeojavanicus hidup sezaman dengan Pithecantropus mojokertensis. Akan tetapi, tingkat kehidupannya Iebih primitif. Ciri-ciri Meganthropus palaeojavanicus adalah memiliki tulang pipi yang tebal; memiliki otot kunyah yang kuat; memiliki tonjolan kening yang mencolok; memiliki tonjolan belakang yang tajam; tidak memiliki dagu; memiliki perawakan yang tegap; dan memakan jenis tumbuhan.

b) Pithecanthropus

Pithecanthropus artinya manusia kera, hidup di zaman Paleolitikum. Fossil ini pertama kali ditemukan oleh Eugene Dubois pada tahun 1891, yakni bagian rahang, gigi dan sebagian tulang tengkorak. Manusia kera berjalan tegak dengan dua kaki, dan diperkirakan hidup pada 700.000 tahun yang lalu. Dubois menemukan fosil Pithecanthropus di Trinil daerah Ngawi pada saat Bengawan Solo sedang kering, kemudian fosil tersebut dinamai Pithecanthropus erectus, artinya manusia kera yang berjalan tegak. Sekarang, nama ilmiah manusia purba Pithecantropus erectus dikenal dengan nama Homo erectus. Pithecanthropus memiliki.ciri-ciri tinggi badan antara 165-180 cm, volume otak antara 750-1300 cc dan berat badan 80-100 kg, tonjolan kening tebal dan melintang sepanjang pelipis; hidung lebar dan tidak berdagu; berahang kuat dan gerahamnya besar; makanannya berupa tumbuhan dan daging hewan buruan. Pithecanthropus adalah manusia purba yang pertama kalinya mengenal api sehingga terjadi perubahan pola memperoleh makanan yang semula mengandalkan makanan dari alam menjadi pola berburu dan menangkap ikan.

Di Indonesia paling tidak terdapat tiga jenis Pithecanthropus yang ditemukan, yaitu Pithecanthropus erectus, Pithecanthropus mojokertensis, dan Pithecanthropus soloensis.

1) Pithecanthropus erectus

Hasil temuan Pithecanthropus erectus oleh para ahli purbakala dianggap sebagai temuan yang sanga penting, yaitu sebagai revolusi temuan-temuan fosil manusia purba yang sejenis. Alasannya, jenis fosil Pithecanthropus erectus diyakini sebagai missing link, yakni makhluk yang kedudukannya antara kera dan manusia. Adapun ciri-ciri Pithecanthropus erectus, antara lain berbadan tegak; tidak berdagu; tinggi badan sekitar 165-180 cm; volume otak 750-1.300 cc; kening menonjol; tulang rahang dan geraham cukup kuat; tulang tengkorak cukup tebal dan bentuknya menonjol.

2) Pithecanthropus mojokertensis

Pithecanthropus robustus (manusia kera berahang besar). Fosilnya ditemukan di lip Sangiran tahun 1939 oleh Weidenreich. G.H.R. von Koenigswald menyebutnya dengan nama Pithecanthropus mojokertensis, penemuannya pada lapisan Pleistosen Bawah yang ditemukan di Mojokerto antara tahun 1936-1941. Pithecanthropus mojokertensis, artinya manusia kera dari Mojokerto. Fosilnya berupa tengkorak anak berumur 5 tahun. Jenis ini memiliki ciri hidung lebar, tulang pipi kuat, tubuhnya tinggi, dan hidupnya masih dari mengumpulkan makanan (food gathering).

3) Pithecanthropus soloensis

Pithecanthropus soloensis ditemukan di dua tempat terpisah oleh G.H.R von Koenigswald dan Oppernoorth di Ngandong dan Sangiran antara tahun 1931-1933. Hasil temuannya ini memiliki peranan penting karena menghasilkan satu seri tengkorak dan tulang kening.

c) Homo sapiens

Homo sapiens, artinya "manusia sempurna", baik dari segi fisik, volume otak, maupun postur badannya yang secara umum tidak jauh berbeda dengan manusia modern. Kadang-kadang Homo sapiens juga diartikan dengan "manusia bijak" karena telah lebih maju dalam berpikir dan menyiasati tantangan alam. Fosil jenis ini diperkirakan berasal dari 15.000-40.000 tahun SM. Ciri-ciri manusia jenis Homo adalah fisiknya sudah mirip dengan manusia sekarang; volume otak lebih berkembang dibandingkan Meganthropus dan Pithecanthropus; alat pengunyah, rahang, gigi, dan otot tengkuk sudah menyusut; tinggi badan berkisar 130 cm-210 cm; tonjolan kening sudah berkurang dan berdagu; mempunyai ciri ras Mongoloid dan Austromelanesoid.

Homo memiliki beberapa subras berikut ini.

(1) Ras Mongoloid, memiliki ciri-ciri berkulit kuning. Kelompok ras tersebar di Asia Tengah, Asia Timur, serta sebagian Asia Selatan dan Tenggara.

(2) Ras Kaukasoid, memiliki ciri berkulit putih, hidung mancung, dan tubuhnya jangkung. Kelompok ras ini hidup di Eropa dan Asia Barat (Timur Tengah).

(3) Ras Negroid memiliki ciri kulit hitam dan bibir agak tebal. Penyebarannya berada di Afrika, Australia, dan Papua.

Selain ketiga jenis ras di atas, terdapat juga ras lain yang penyebarannya dikatakan terbatas. Ras yang dimaksud adalah ras Austromelanesoid dan ras Khausanoid. Ras Austromelanesoid penyebarannya di wilayah Kepulauan Pasifik dan pulau-pulau di antara Asia dan Australia, sedangkan ras Khausanoid atau sering juga disebut dengan ras Indian (berkulit merah) mendiami kawasan Benua Amerika yang kemudian dikenal sebagai suku Indian.

Beberapa spesimen (penggolongan) manusia Homo sapiens dapat dikelompokkan sebagai berikut.

(1) Homo wajakensis

Fosil Homo sapiens di Indonesia ditemukan di Wajak, dekat Tulungagung Jawa Timur, oleh Von Rietschoten pada tahun 1889. Fosil ini merupakan fosil pertama yang ditemukan di Indonesia, yang diberi nama Homo Wajakensis atau manusia dari Wajak. Fosil ini kemudian diteliti ulang oleh Eugene Dubois. Manusia purba ini memiliki ciri-ciri tinggi badan 130-210 cm, berat badan- 150 kg, dan volume otak 1350-1450 cc, muka datar agak lebar, bagian mulut sedikit menonjol. Homo wajakensis diperkirakan hidup antara 25.000-40.000 tahun yang lalu. Homo wajakensis memiliki persamaan dengan orang Australia purba (Australoid). Sebuah tengkorak kecil dari seorang wanita, sebuah rahang bawah, dan sebuah rahang atas dari manusia purba itu sangat mirip dengan manusia purba ras Australoid purba yang ditemukan di Talgai dan Keilor yang rupanya mendiami daerah Irian dan Australia. Di Asia Tenggara ditemukan pula manusia purba jenis ini di antaranya di Serawak, Filipina, dan Cina Selatan.

(2) Homo soloensis

Fosil jenis Homo soloensis ditemukan oleh Ter Haar, Opper noot, dan  G.H.R. von Koenigswald pada tahun 1931-1933. Fossil tersebut ditemukan di Ngandong, Blora, di Sangiran, dan di Sambung Macan, Sragen. Penemuan fosil berasal dari lapisan Pleistosen Atas. Homo soloensis diperkirakan hidup sekitar 900.000-300.000 tahun yang lalu. G.H.R. von Koenigswald berpendapat bahwa makhluk ini lebih tinggi tingkatannya dibandingkan dengan Pithecanthropus erectus. Ada dugaan bahwa Homo soloensis merupakan evolusi dari Pithecanthropus mojokertensis.

Adapun ciri-ciri Homo soloensis sebagai berikut.

(a) Otak kecilnya lebih besar daripada otak kecil Pithecanthropus erectus

(b) Tengkoraknya lebih besar daripada Pithecanthropus erectus dengan volume berkisar antara 1.000-1.300 cc.

(c) Tonjolan kening agak terputus di tengah (di atas hidung).

(d) Berbadan tegap dan tingginya kurang lebih 180 cm.

(3) Homo floresiensis

Penemuan fosil Homo floresiensis atau manusia Liang Bua ditemukan pada tahun 2004 oleh Peter Brown dan Mike J. Morwood bersama-sama dengan Tim dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional pada bulan September 2003 lalu. Sisa-sisa manusia ditemukan di sebuah gua Liang Bua oleh tim peneliti gabungan Indonesia dan Australia. Sebuah gua permukiman di Flores. Liang Bua bila diartikan secara harfiah merupakan sebuah gua yang dingin. Sebuah gua yang sangat lebar dan tinggi dengan permukaan tanah yang datar, merupakan tempat bermukim yang nyaman bagi manusia pada masa praaksara. Hal itu bisa dilihat dart kondisi lingkungan sekitar gua yang sangat indah, yang berada di sekitar bukit dengan kondisi tanah yang datar di depannya. Liang Bua merupakan sebuah temuan manusia modern awal dari akhir masa Pleistosen di Indonesia yang menakjubkan yang diharapkan dapat menyibak asal usul manusia di Kepulauan Indonesia.

Diperkirakan Liang Bua merupakan sebuah situs neolitik dan paleometalik. Manusia Liang Bua mempunyai ciri tengkorak yang panjang dan rendah, berukuran kecil, dengan volume otak 380 cc. Kapasitas kranial tersebut berada jauh di bawah Homo erectus (1.000 cc), manusia modern Homo sapiens (1.400 cc), dan bahkan berada di bawah volume otak simpanse (450 cc).

4. Asal Usul dan Persebaran Nenek Moyang Bangsa Indonesia

Beberapa penduduk asli Kepulauan Indonesia adalah ras berkulit gelap dan bertubuh kecil. Mereka mulanya tinggal di Asia bagian tenggara. Penduduk asli kepulnauan Indonesia tersisa dan menetap di daerah-daerah pedalaman, sedangkan daerah pantai dihuni oleh penduduk pendatang. Berikut ini beberapa teori yang mendasari tentang asl usul nenek moyang bangsa Indonesia, antara lain sebagai berikut.

a. Teori Yunan

Teori Yunan menyatakan bahwa asal usul nenek moyang bangsa Indonesia berasal dari Yunan, Tiongkok bagian selatan. Teori ini didukung oleh R. Moh Ali yang berpendapat bahwa bangsa Indonesia berasal dari daerah Mongol yang terdesak oleh bangsa-bangsa yang lebih kuat sehingga melakukan migrasi menuju ke selatan. Ada pula Robert von Heine Geldern dan J.H.C. Kern yang juga mendukung teori Yunan. Dasar pendapat mereka sebagai berikut.

1) Ditemukannya kapak tua di wilayah Nusantara yang memiliki kemiripan dengan kapak tua yang ada di kawasan Asia Tengah. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa terjadi migrasi penduduk dari Asia Tengah ke Kepulauan Nusantara.

2) Bahasa Melayu yang berkembang di Nusantara memiliki kemiripan dengan bahasa Champa yang ada di Kamboja. Hal ini membuka kemungkinan bahwa penduduk Champa yang ada di Kamboja berasal dari Daratan Yunan dengan menyusuri Sungai Mekong. Arus perpindahan ini selanjutnya diteruskan ketika sebagian dari mereka melanjutkan perpindahan dan sampai ke wilayah Nusantara.

Menurut teori Yunan, migrasi penduduk dari Yunan menuju Kepulauan Indonesia melalui tiga gelombang, yaitu perpindahan orang Negrito, Proto Melayu, dan Deutro Melayu.

b. Teori Nusantara

Teori Nusantara menyatakan bahwa asal-usul bangsa Indonesia berasal dari Indonesia sendiri, bukan dari luar. Teori ini didukung oleh Muhammad Yamin, Gorys Keraf, dan J. Crawford. Teori ini dilandasi oleh beberapa alasan berikut.

1) Bangsa Melayu merupakan bangsa yang berperadaban tinggi. mungkin dapat dicapai apabila tidak melalui proses perkembangan dari kebudayaan sebelumnya.

2) Bahasa Melayu memang memiliki kesamaan dengan bahasa Champa (Kamboja), namun persamaan ini hanyalah suatu kebetulan.

3) Adanya kemungkinan bahwa orang Melayu adalah keturunan dan Homo soloensis dan Homo wajakensis.

4) Adanya perbedaan bahasa antara bahasa Austronesia yang berkembang di Kepulauan Indonesia dan bahasa Indo-Eropa yang berkembang di Asia Tengah.

c. Teori Out of Taiwan

Teori Out of Taiwan mengemukakan bahwa awal mula manusia di Asia Tenggara (termasuk Indonesia) berasal dari Formosa (sekarang Taiwan). Pendukung teori ini adalah Robert Blust dan Harry Truman Simanjuntak. Menurut teori Out of Taiwan, manusia yang berdiam di Taiwan melakukan migrasi menuju Filipina bagian utara. Mereka kemudian terus bergerak ke selatan sampai di Maluku. Dari Maluku sebagian bergerak ke barat hingga masuk ke Jawa, Sumatra, dan Semenanjung Malaya. Sebagian lagi bergerak ke timur hingga Hawaii, Samoa, dan kepulauan-kepulauan kecil di Pasifik. Bahkan, ada yang mencapai Amerika Latin (Indian).

Selain teori-teori di atas, terdapat pendapat para ahli mengenai asal-usul nenek moyang bangsa Indonesia, antara lain sebagai berikut.

a. Prof. Dr. H. Kern

Kern menyatakan bahwa bangsa Indonesia berasal dari Asia. Kern berpendapat bahwa bahasa-bahasa yang digunakan di Kepulauan Indonesia, Polinesia, Melanesia, Mikronesia memiliki akar bahasa yang sama, yakni bahasa Austronesia. Kern menyimpulkan bahwa bangsa Indonesia berawal dari satu daerah dan menggunakan bahasa Campa. Menurutnya, nenek moyang bangsa Indonesia menggunakan perahu-perahu bercadik menuju Kepulauan Indonesia. Pendapat Kern ini didukung oleh adanya persamaan nama dan bahasa yang dipergunakan di daerah Campa dengan di Indonesia, misalnya kata "kampong" yang banyak digunakan sebagai kata tempat di Kamboja. Selain nama geografis, istilah-istilah binatang dan alat perang pun banyak kesamaannya.

b. Moh. Ali

Moh Ali Ali pendapatnya tidak jauh berbeda dari pendapat Hogen. la menyatakan bahwa bangsa Indonesia berasal dari daerah Yunan. Pendapat ini dipengaruhi oleh pendapat yang mengatakan bahwa bangsa Indonesia berasal dari daerah Mongol dan terdesak oleh bangsa-bangsa yang lebih kuat.

c. Muh. Yamin

Muh. Yamin berpendapat bahwa bangsa Indonesia berasal dari wilayah Indonesia sendiri. Yamin bahkan meyakini bahwa ada sebagian bangsa atau suku di luar negeri yang berasal dari Indonesia. Yamin menyatakan bahwa temuan fosil dan artefak lebih banyak dan lengkap di Indonesia daripada daerah Iainnya di Asia. Misalnya, temuan fosil Homo atau Pithecanthropus soloensis dan Homo wajakensis yang tidak ditemukan di daerah Asia lain termasuk lndocina (Asia Tenggara). Pendapat ini didukung dengan pernyataan Blood Und Breden Unchro yang berarti darah dan tanah bangsa Indonesia berasal dari Indonesia sendiri.

d. Hogen

Hogen berpendapat bahwa bangsa yang mendiami daerah pesisir Melayu berasal dari Sumatra. angsa Melayu ini kemudian bercampur dengan bangsa Mongol yang disebut bangsa Proto Melayu (Melayu Tua) dan Deutro Melayu. Bangsa Proto Melayu kemudian menyebar di sekitar wilayah Indonesia pada 3000 hingga 1.500 SM, sedangkan bangsa Deutro Melayu datang ke Indonesia sekitar tahun 1.500 hingga 500 SM.

Persebaran ras di Indonesia sudah dimulai sejak zaman Es (Glasial). Pada zaman Es wilayah Indonesia bagian barat masih bersatu dengan Benua Australia. Pada masa itu telah tersebar dua ras di Indonesia, yaitu ras Mongoloid dan Austroloid.

a. Ras Mongoloid

Ras Mongoloid berasal dari daerah Asia Tengah (Mongoloid). Pada zaman Es, ras Mongoloid tersebar di daerah Indonesia bagian barat yang meliputi Pulau Sumatra, Jawa, dan Kalimantan. Dengan arus persebaran dari Mongolia menuju ke daerah-daerah di Asia Tenggara, seperti Vietnam, Laos, Thailand, Malaysia, Singapura selanjutnya menuju ke Indonesia bagian barat. Semua perjalanan panjang itu ditempuh melalui jalur darat sebab pada saat itu bagian barat Indonesia masih bersatu dengan Asia Tenggara. Pada perkembangannya daratan tersebut tenggelam oleh laut menjadi beberapa pulau di Indonesia bagian barat, seperti Sumatra, Kalimantan, dan Jawa. Daratan yang terendam laut itu disebut Paparan Sunda.

b. Ras Australoid

Ras Australoid berpusat di Australia dan menyebar ke Indonesia bagian timur khususnya wilayah Papua/Irian Jaya. Persebaran ke wilayah ini pun dilakukan melalui darat sebab saat itu Papua masih bersatu dengan Benua Australia. Selanjutnya sama dengan terbentuknya Paparan Sunda maka sebagian daratan yang menghubungkan Papua dengan Australia itu pun terendam oleh air taut dan disebut Paparan Sahul.

Sementara itu, daerah di zona Wallace, seperti Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Maluku merupakan daerah penyaringan bagi migrasi manusia dan fauna dari Paparan Sunda ke Paparan Sahul maupun sebaliknya sehingga sangat terbatas sekali ras yang dapat masuk ke wilayah ini. Jadi, awalnya ras yang menghuni wilayah Kepulauan Indonesia adalah ras Mongoloid dan Austroloid.

Perkembangan selanjutnya, pada tahun 2.000 SM mulai terjadi migrasi/perpindahan ras dari berbagai wilayah dunia ke Kepulauan Indonesia seperti berikut.

a. Migrasi pertama, Ras Negroid

Ciri dari ras berkulit hitam, bertubuh tinggi, dan berambut keriting. Ras ini datang dari Afrika. Di Indonesia ras ini sebagian besar mendiami daerah Papua. Keturunan ras ini terdapat di Riau (pedalaman), yaitu suku Siak (Sakai) serta suku Papua Melanesoid mendiami Pulau Papua dan Pulau Melanesia.

b. Migrasi kedua, Ras Weddoid

Ciri ras Weddoid adalah berkulit hitam, bertubuh sedang, dan berambut keriting. Ras ini datang dari India bagian selatan. Keturunan ras ini mendiami Kepulauan Maluku dan Nusa Tenggara Timur (Kupang).

c. Migrasi ketiga, Ras Melayu Tua (Proto Melayu)

Ciri ras ini adalah berkulit sawo matang, bertubuh tidak terlalu tinggi, dan berambut lurus. Ras ini termasuk dalam ras Mongoloid (subras Malayan Mongoloid) berasal dan daerah Yunan (Asia Tengah) masuk ke Indonesia melalui Hindia Belakang (Vietnam)/ Indocina baru selanjutnya ke Indonesia pada sekitar 1.500-500 SM. Mereka mempunyai peradaban yang lebih maju daripada ras sebelumnya. Hal ini ditandai dengan kemahirannya dalam bercocok tanam. Di Indonesia ras ini menyebar melalui dua jalur sesuai jenis kebudayaan Neolitikum yang dibawanya.

1) Jalur pertama atau jalur barat
Melalui jalur barat dan membawa kebudayaan berupa kapak persegi. Mereka menempuh jalur darat dari Yunan menuju ke Semenanjung melayu melalui Thailand selanjutnya menuju ke Sumatra, Jawa, Bali. Ada pula yang menuju Kalimantan dan berakhir di Nusa Tenggara. Itu sebabnya di daerah tersebut banyak ditemukan peninggalan berupa kapak persegi/beliung persegi. Keturunan Proto Melayu yang melalui jalur ini adalah masyarakat/suku Batak, Nias (Sumatera Utara), Mentawai (Sumatera Barat), suku Dayak (Kalimantan), dan suku Sasak (Lombok).

2) Jalur kedua atau jalur timur Melalui jalur timur dan membawa kebudayaan berupa kapak lonjong. Dengan menempuh jalur laut dari Yunan (Teluk Tonkin) menyusuri Pantai Asia Timur menuju Taiwan, Filipina, kemudian ke daerah Sulawesi, Maluku, ke Irian/Papua selanjutnya menuju sampai ke Australia. Peninggalan kapak lonjong banyak ditemukan di Papua. Keturunan Proto Melayu yang melalui jalur ini adalah suku Toraja (Sulawesi Selatan), suku Papua (Irian), suku Ambon, suku Ternate, dan suku Tidore (Maluku).

d. Migrasi keempat, Ras Melayu Muda (Deutro Melayu)

Bangsa Melayu Muda memasuki kawasan Indonesia sekitar 500 SM secara bergelombang. Mereka masuk melalui jalur barat, yaitu melalui daerah Semenanjung Melayu terus ke Sumatra dan tersebar ke wilayah Indonesia yang lain. Kebudayaan mereka lebih maju daripada bangsa Proto Melayu. Mereka telah pandai membuat benda-benda logam (perunggu). Kepandaian ini lalu berkembang menjadi membuat besi. Kebudayaan Melayu Muda ini sering disebut kebudayaan Dongson. Narita Dongson ini disesuaikan dengan nama daerah di sekitar Teluk Tonkin (Vietnam) yang banyak ditemukan benda-benda peninggalan dari logam. Daerah Dongson ini ditafsir sebagai tempat asal bangsa Melayu Muda sebelum pergi menuju Indonesia. Hasil-hasil kebudayaan perunggu yang ditemukan di Indonesia, di antaranya kapak corong (kapak sepatu), nekara, dan bejana perunggu. Benda-benda logam ini umumnya terbuat dari tuangan (cetakan).

Keturunan bangsa Deutro Melayu ini selanjutnya berkembang menjadi suku-suku tersendiri, misalnya Melayu, Jawa, Sunda, Bugis, Minang. Kern menyimpulkan hasil penelitian bahasa yang tersebar di Nusantara adalah serumpun karena berasal dari bahasa Austronesia. Perbedaan bahasa yang terjadi di daerah-daerah Nusantara, seperti bahasa Jawa, Sunda, Madura, Aceh, Batak, Minangkabau merupakan akibat dari keadaan alam Indonesia sendiri yang dipisahkan oleh laut dan selat.

Di samping dipisahkan oleh selat dan samudra, perbedaan bahasa pun disebabkan karena setiap pulau di Indonesia memiliki karakteristik alam yang berbeda-beda. Semula bahasa bangsa Deutro Melayu ini sama, namun setelah menetap di tempat masing-masing, mereka pun mengembangkan bahasa tersendiri. Kosakata yang dahulu dipakai dan masih diingat tetap digunakan, sedangkan untuk menamai benda-benda yang baru dilihat di tempat tinggal yang baru (Indonesia) mereka membuat kata-kata mereka sendiri. Jadi, jangan heran, bila ada sejumlah, kata yang terkadang sama bunyinya di antara dua suku, namun memiliki arti yang berbeda sama sekali, tak ada hubungan. Ada pula kata yang memiliki arti yang masih berhubungan meski tak identik, seperti kata "awak". Kata awak bagi orang Minang berarti "saya", sedangkan menurut orang Sunda berarti "badan".

Selanjutnya, bangsa Melayu Muda inilah yang berhasil mengembangkan peradaban dan kebudayaan yang lebih maju daripada bangsa Proto Melayu dan Negrito yang menjadi penduduk di pedalaman. Hingga sekarang keturunan bangsa Proto Melayu dan Negrito masih bermasyarakat secara sederhana, mengikuti pola moyang mereka, dan kurang bersentuhan dengan budaya luar, seperti India, Islam, dan Eropa. Adapun bangsa Deutro Melayu mampu berasimilasi dengan kebudayaan Hindu-Buddha, Islam, dan Barat.

Post a Comment for "Materi Sejarah Indonesia: Menelusuri Asal-Usul Nenek Moyang Bangsa Indonesia"