Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Materi C : Islam Masuk Istana Raja - Part 3


 

Mata Pelajaran : Sejarah Indonesia

Materi : Bab 4 - Islamisasi dan Silang Budaya Nusantara

 

Bagian C - Islam Masuk Istana Raja

Dengan persebaran Islam di seluruh Nusantara sekitara 1300 - 1650 M, konsep baru kerajaan Islam di Indonesia mulai merebak. Mulai dari Sumatra, Jawa, dan kemudian di daerah-daerah lainnya, kerajaan-kerajaan Islam mulai berdiri dan menjalankan segala aktivitasnya.

1. Kerajaan Islam di Kalimantan 

Di samping Sumatra dan Jawa, ternyata di Kalimantan juga terdapat beberapa kerajaan- kerajaan yang bercorak Islam. Apakah Anda sudah mengetahul nama kerajaan-kerajaan Islam yang tumbuh di Kalimantan? Di antara kerajaan Islam itu adalah Kesultanan Pasir (1516), Kesultanan Banjar (1526-1905), Kesultanan Kotawaringin, Kerajaan Pagatan (1750), Kesultanan Sambas (1671), Kesultanan Kutai Kartanegara, Kesultanan Berau (1400), Kesultanan Sambaliung (1810), Kesultanan Gunung Tabur (1820), Kesultanan Pontianak (1771), Kesuitanan Tidung, dan Kesultanan Bulungan (1731). Namun, pada materi ini akan dibahas dua kerajaan (kesultanan) yang ada di Kalimantan yaitu kerajaan Banjar dan kerajaan Pontianak.

a, Kerajaan Banjar 

Sebelum menjadi kerajaan bercorak Islam, Kerajaan Banjarmasin atau ada yang menyebut sebagai Kerajaan Daha (pusat pemerintahan awalnya ada di Daha) masih bercorak Hindu. Kerajaan tersebut pernah diperintah oleh sekitar tujuh orang raja. Raja pertana ialah Pangeran Surianata (1438-1460) dan raja terakhir ialah Pangeran Tumenggung-Tumenggung (1588-1595), Selama la memerintah, situasi politik di Kerajaan Banjar dalam keadaan rawan, Pusat pemerintahan pun dipindahkannya dari Daha ke Danau Pagang, dekat Amuntai. Dalam keadaan krisis pemerintahan yang demikian, Islam pun mulai masuk ke Kalimantan Selatan. Pada saat krisis terjadi, Pangeran Samudra yang ditunjuk sebagal putra mahkota oleh kakeknya, Raja Sukarama, minta bantuan kepada Kerajaan Demak di Jawa. Barntuan yang dimaksud berupa kekuatan militer untuk melawan pamannya sendiri, PangeranTumenggung. Sultan Demak (Sultan Trenggono) saat itu menyetujuinya, asalkan Pangeran Samudra bersedia masuk islam apabila memenangkan pertempuran tersebut. Dalam peperangan itu, Pangeran Samudra mendapat kemenangan. Sesuai janjinya, la pun masuk Islam beserta kerabat keraton dan penduduk Banjar. Saat itulah (1526 M) berdiri pertama kali kerajaan islam Banjar dengan rajanya Pangeran Samudra dengan gelar Sultan Suryanullah atau Suriansyah. Kemudian ia memindahkan pusat pemerintahan ke suatu tempat yang diberi nama Bandar Masih atau sekarang lebih dikenal sebagai Banjarmasin. untuk mengawasi pelaksanaan pemerintahan dan juga memberi nasihat untuk memecahkan masalah pelik dan menyangkut kehidupan masyarakat maka dibentuk Dewan Mahkota. Pengganti takhta Kerajaan Banjar setelah Sultan Suryanullah walat berturut-turut adalah Sultan Rahmatullah, Sultan Hidayatullah, Sultan Tahlilullan, unan Tamjidillah, Sultan Tahmidillah, Sultan Sulaiman, Sultan Adam al-Wasi Billah, dan Pangeran Tamjidillah. Pada masa Sultan Hidayatullah, hubungan Banjar dengan Demak terputus. Sementara itu, ibukota Kerajaan Banjar juga sering berpindah-pindah. Sultan Hidayatullah memindahkan ibukota ke Muara Tambangan. Pada masa Sultan Tamjidillah pusat pemerintahan dipindahkan ke Martapura, sedangkan masa Sultan Sulaiman dipindahkan ke Karang Intan, dan pada pemerintahan Sultan Adam al-Wasi' Billah dipindahkan kembali ke Martapura. Sultan Tamjidillah menjadi pemimpin Kerajaan Banjar karena ditetapkan secara sepihak oleh Belanda. Akibatnya, rakyat memberontak dipimpin oleh Pangeran Antasari, kerabat istana yang diasingkan. Sultan Tamjidillah tidak mampu mengatasi keadaan sehingga diturunkan dari takhta oleh Belanda. Selanjutnya, mulai tanggal 11 Juni 1860, Belanda menghapuskan kedudukan Kerajaan Banjar.

b. Kerajaan Pontianak 

Kerajaan-kerajaan yang terletak di daerah Kalimantan Barat antara lain Tanjungpura dan Lawe. Kedua kerajaan tersebut pernah diberitakan Tome Pires (1512-1551). Tanjungpura dan Lawe menurut berita musafir Portugis sudah mempunyai kegiatan dalam perdagangan baik dengan Malaka dan Jawa, bahkan kedua daerah yang diperintah oleh Pate atau mungkin adipati kesemuanya tunduk kepada kerajaan di Jawa yang diperintah Pati Unus. Tanjungpura dan Lawe (daerah Sukadana) menghasilkan komoditi seperti emas, berlian, padi, dan banyak bahan makanan. Banyak barang dagangan dari Malaka yang dimasukkan ke daerah itu, demikian pula jenis pakaian dari Bengal dan Keling yang berwarna merah dan hitam dengan harga yang mahal dan yang murah. Pada abad ke-17 kedua kerajaan itu telah berada di bawah pengaruh kekuasaan Kerajaan Mataram terutama dalam upaya perluasan politik dalam menghadapi ekspansi politik VOC. Demikian pula Kotawaringin yang kini sudah termasuk wilayah Kalimantan Barat pada masa Kerajaan Banjar juga sudah masuk dalam pengaruh Mataram, sekurang- kurangnya sejak abad ke-16. Meskipun kita tidak mengetahui dengan pasti kehadiran Islam di Pontianak, konon ada pemberitaan bahwa sekitar abad ke-18 atau 1720 ada rombongan pendakwah dari Tarim (Hadramaut) yang di antaranya datang ke daerah Kalimantan Barat untuk mengajarkan membaca al-Qur'an, ilmu fikih, dan ilmu hadis.

Mereka di antaranya Syarif idrus bersama anak buahnya pergi ke Mampawah, tetapi kemudian menelusuri sungai ke arah laut memasuki Kapuas Kecil sampailah ke suatu tempat yang menjadi cikal bakal kota Pontianak. Syarif Idrus kemudian diangkat menjadi Pimpinan utama masyarakat di tempat itu dengan gelar Syarif Idrus ibn Abdurrahman al-Aydrus yang kemudian memindahkan kota dengan pembuatan benteng atau kubu dari kayu-kayuan untuk pertahanan. Sejak itu Syarif Idrus ibn Abdurrahman al-Aydrus dikenal sebagai Raja Kubu. Daerah itu mengalami kemajuan di bidang perdagangan dan keagamaan, sehingga banyak para pedagang yang berdatangan dari berbagai negeri. Cerita lainnya mengatakan bahwa pendakwah dari Tarim (Hadramaut) yang mengajarkan Islam dan datang ke Kalimantan bagian barat terutama ke Sukadana ialah Habib Husin al-Gadri. la semula singgah di Aceh dan kemudian ke Jawa sampai di Semarang dan di tempat itulah ia bertemu dengan pedagang Arab namanya Syaikh, karena itulah maka Habib al-Gadri berlayar ke Sukadana. Dengan kesaktian Habib Husin al-Gadri menyebabkan ia mendapat banyak simpati dari raja, Sultan Matan dan rakyatnya. Kemudian Habib Husin al-Gadri pindah dari Matan ke Mempawah untuk meneruskan sylar Islam. Setelah wafat ia diganti oleh salah seorang putranya yang bernama Pangeran Sayid Abdurrahman Nurul Alam, la pergi dengan sejumlah rakyatnya ke tempat yang kemudian dinamakan Pontianak dan di tempat inilah ia mendirikan keraton dan masjid Agung. Pemerintahan Syarif Abdurrahman Nur Alam ibn Habib Husin al-Gadri pada 1773-1808, digantikan oleh Syarif Kasim ibn Abdurrahmán al-Gadri pada 1808-1828 dan selanjutnya Kesultanan Pontianak di bawah pemerintahan sultan-sultan keluarga Habib Husin al-Gadri.


 

Lanjut ke Part 4 : https://www.perangkatrpp.com/2021/04/materi-c-islam-masuk-istana-raja-part-4.html

Post a Comment for "Materi C : Islam Masuk Istana Raja - Part 3"