Materi : Bab 4 - Islamisasi dan Silang Budaya di Nusantara - Bagian B
Mata Pelajaran : Sejarah Indonesia
Materi : Bab 4 - Islamisasi dan Silang Budaya Nusantara
Bagian B - Islam dan Jaringan Perdagangan Antar Pulau.
Peran pedagang dalam proses penyebaran agama Islam di Nusantara sangat penting. Untuk mengetahui lebih jelas, mari kita pelajari materi berikut ini!
1. Peranan Pedagang
Malaka merupakan pusat transit para pedagang saat itu. Di samping itu, bandar-bandar di sekitar Malaka, seperti Perlak juga didatangi para pedagang. Para pedagang tinggal di tempat-tempat tersebut dalam waktu yang lama untuk menunggu datangnya angin musim. Pada saat menunggu inilah, terjadi pembauran antarpedagang dari berbagai bangsa dengan pedagang dan penduduk setempat. Terjadilah kegiatan saling memperkenalkan adat istiadat, budaya, agama, bahkan juga asimilasi melalui perkawinan.
Di antara para pedagang tersebut, terdapat pedagang Arab, Persia, dan Gujarat yang umumnya beragama Islam. Mereka mengenalkan agama dan budaya Islam kepada para pedagang lain maupun kepada penduduk setempat. Oleh karena itu, mulailah terdapat penduduk pribumi yang memeluk agama Islam. Lama-kelamaan penganut agama Islam makin banyak. Bahkan, berkembang perkampungan para pedagang Islam di daerah pesisir.
Penduduk setempat yang telah memeluk agama Islam kemudian menyebarkan Islam kepada sesama pedagang dan kerabat-kerabatnya. Di samping itu, para pedagang luar negeri tersebut ada yang menikah dengan penduduk setempat sehingga membentuk keluarga muslim. Akhirnya, Islam mulai berkembang di masyarakat Indonesia.
2. Peranan Bandar-Bandar Pelabuhan
Dalam kegiatan perdagangan, diperlukan tempat untuk melakukan transaksi jual beli. Oleh karena itu, dibangun kota pelabuhan. Biasanya, kota pelabuhan yang terletak di jalur perdagangan yang strategis dapat berkembang dengan pesat dan cepat. Dengan demikian, pembangunan kota pelabuhan merupakan salah satu persyaratan yang penting bagi perkembangan perdagangan di Kepualaun Indonesia.
Dalam perkembangannya, kota pelabuhan memegan peranan penting dalam penyebaran Islam di Kepulauan Indonesia. Kota pelabuhan merupakan tempat bertemunya para pedagang. Bahkan mereka harus menginap apabila barang dagangannya belum laku seluruhnya. Pada waktu bermalam, banyak kegiatan yang dilakukan para pedagang muslim, terutama yan berkaitan dengan pelaksanaan ajaran Islam. Misalnya, melaksanakan salat dan membaca kitab suci Al-Qur'an (mengaji). Kegiatan pedagang muslim, kemudian ditiru oleh para pedagang Indonesia. Bahkan, tidak sedikit di antara pedagang Indonesia yang sengaja belajar agama Islam.
Berdasarkan kenyataan tersebut, beberapa fungsi kota pelabuhan sebagai berikut.
a. Sebagai tempat berlabuh kapal-kapal dagang, baik untuk memuat dan/atau membongkar barang-barang-barang dagangan.
b. Sebagai tempat transaksi perdagangan (jual beli barang-barang).
c. Sebagai tempat persinggahan dan/atau istirahat para pedagang.
d. Sebagai tempat tinggal para pengusaha kapal dan pedagang.
3. Jaringan Pedagang Antarpulau
Berita Tome Pires dalam Suma Oriental (1512-1515) memberikan gambaran mengenai keberadaan jalur pelayaran jaringan perdagangan, baik regional maupun internasional. Ia menceritakan tentang lalu lintas dan kehadiran para pedagang di Samudra Pasai yang berasal dari Bengal, Turki, Arab, Persia, Gujarat, Kling, Malayu, Jawa, dan Siam. Selain itu, Tome Pires juga mencatat kehadiran para pedagang di Malaka dan Kairo, Mekkah, Aden, Abysinia, Kilwa, Dekkan, Malabar, Orissa, Ceylon, Bengal, Arakan, Pegu, Siam, Kedah Melayu, Pahang, Patani, Kamboja, Campa, Cossin China, Tiongkok, Lequeos, Brunei, Lucus, Tanjung Pura, Lawe, Bangka, Lingga, Maluku, Banda, Bima, Timor, Madura, Jawa, Sunda, Palembang, Jambi, Tongkal, Indragiri, Kapatra, Minangkabau, Siak, Arqua, Aru, Tamjano, Pase, Pedir, dan Maladiva.
Pedagang-pedagang Islam memegang peranan penting dalam penyebaran Islam sebab selain berdagang, mereka juga menyebarkan agama Islam. Mereka masuk ke daerah-daerah atau bandar perdagangan kemudian berkumpul dalam satu kompleks. Kompleks tersebut berkembang menjadi kampung Islam yang dikenal dengan nama Pekojan. Salah satu faktor terbentuknya Pekojan, yaitu para pedagang Islam harus tinggal lama untuk menunggu angin berembus ke arah barat. Ketika berangkat dari Arab mereka akan menggunakan angin yang bertiup dari Asia ke Australia. Angin ini berembus selama setengah tahun sekali. Ketika para pedagang menunggu angin yang berembus dari Australia ke Asia maka mereka membangun perkampungan sederhana. Selama menunggu waktu pedagang Islam menjual dan mencari barang dagangan. Kegiatan tersebut membuat hubungan yang lebih akrab dengan penduduk di Nusantara.
Hubungan pelayaran dan perdagangan antara Nusantara dengan Arab meningkat menjadi hubungan langsung dan dalam intensitas tinggi. Dengan demikian aktivitas perdagangan dan pelayaran di Samudera Hindia semakin ramai. Peningkatan pelayaran tersebut berkaitan erat dengan makin majunya perdagangan di masa jaya pemerintahan Dinasti Abbasiyah (750-1258). Dengan ditetapkannya Baghdad menjadi pusat pemerintahan menggantikan Damaskus (Syam), akibatnya aktivitas pelayaran dan perdagangan di Teluk Persia menjadi lebih ramai. Pedagang Arab yang selama ini berlayar sampai India, sejak abad ke-8 mulai masuk ke Kepulauan Indonesia dalam rangka perjalanan ke Tiongkok. Meskipun hanya transit, tetapi hubungan Arab dengan kerajaan-kerajaan di Kepulauan Indonesia terjalin secara langsung. Hubungan ini menjadi semakin ramai manakala pedagang Arab dilarang masuk ke Tiongkok dan koloni mereka dihancurkan oleh Huang Chou, menyusul suatu pemberontakan yang terjadi pada 879 H. Orang-orang Islam melarikan diri dari Pelabuhan Kanton dan meminta perlindungan Raja Kedah dan Palembang.
Ditaklukkannya Malaka oleh Portugis pada 1511, dan usaha Portugis untuk menguasai lalu lintas di selat tersebut, mendorong para pedagang untuk mengambil jalur alternatif, yaitu dengan melintasi Semenanjung atau pantai barat Sumatra ke Selat Sunda. Pergeseran ini melahirkan pelabuhan perantara yang baru, seperti Aceh, Patani, Pahang, Johor, Banten, Makassar dan lain sebagainya. Saat itu, pelayaran di Selat Malaka sering diganggu oleh bajak laut. Perompakan laut sering terjadi pada jalur-jalur perdagangan yang ramai, tetapi kondisi tersebut kurang mendapat pengawasan oleh penguasa setempat. Akibat dari aktivitas bajak laut, rute pelayaran perdagangan yang semula melalui Asia Barat ke Jawa lalu berubah melalui pesisir Sumatra dan Sunda. Dari pelabuhan ini pula para pedagang singgah di Pelabuhan Barus, Pariaman, dan Tiku.
Perdagangan pada wilayah timur Kepulauan Indonesia lebih terkonsentrasi pada perdagangan cengkih dan pala. Dari Ternate dan Tidore (Maluku) barang komoditi dibawa ke Somba Opu, ibu kota Kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan. Somba Opu pada abad ke-16 telah menjalin hubungan perdagangan dengan Patani, Johor, Banjar, Blambangan, dan Maluku. Adapun Hitu (Ambon) menjadi pelabuhan yang menampung komoditi cengkih yang datang dari Huamual (Seram Barat), sedangkan komoditi pala berpusat di Banda. Semua pelabuhan tersebut umumnya didatangi oleh para pedagang Jawa, Tiongkok, Arab, dan Makassar. Kehadiran pedagang itu mempengaruhi corak kehidupan dan budaya setempat, antara lain ditemui bekas koloninya seperti Maspait (Majapahit), Kota Jawa (Jawa), dan Kota Mangkasare (Makassar).
Meskipun banyak kota bandar, namun yang berfungsi untuk melakukan ekspor dan impor komoditi pada umumnya adalah kota-kota bandar besar yang beribu kota pemerintahan di pesisir, seperti Banten, Jayakarta, Cirebon, Jepara-Demak, Ternate, Tidore, Goa-Tallo, Banjarmasin, Malaka, Samudra Pasai, Kesultanan Jambi, Palembang dan Jambi. Kesultanan Mataram berdiri dari abad ke-16 sampai ke-18. Meskipun kedudukannya sebagai kerajaan pedalaman namun wilayah kekuasaannya meliputi sebagian besar pulau Jawa yang merupakan hasil ekspansi Sultan Agung. Kesultanan Mataram juga memiliki kota-kota bandar, seperti Jepara, Tegal, Kendal, Semarang, Tuban, Sedayu, Gresik, dan Surabaya.
Dalam proses perdagangan telah terjalin hubungan antaretnis yang sangat erat. Berbagai etnis dari kerajaan-kerajaan tersebut kemudian berkumpul dan membentuk komunitas. Oleh karena itu muncul nama-nama kampung berdasarkan aslah daerah. Misalnya, di Jakarta terdapat perkampungan Keling, Pekojan, dan kampung-kampung lainnya yang berasal dari daerah-daerah asal yang jauh dari kota-kota yang dikunjungi, seperti Kampung Melayu, Kampung Bandan, Kampung Ambon, dan Kampung Bali.
-------------------------------
Form Pemahaman Materi (Silahkan diisi setelah membaca dan memahami materi).
Post a Comment for "Materi : Bab 4 - Islamisasi dan Silang Budaya di Nusantara - Bagian B"