Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kerajaan Buleleng dan Kerajaan Dinasti Warmadewa di Bali - Munculnya Negara Tradisional (Kerajaan) bercorak Hindu-Buddha di Indonesia

 


Perkembangan agama Hindu-Buddha selama beradab-abad di Indonesia telah meninggalkan berbagai peninggalan, seperti sistem politik, sosial, ekonomi, dan budaya. Salah satu bentuk peninggalan sistem politik masa penyebaran agama Hindu-Buddha adalah berdirinya berbagai kerajaan Hindu-Buddha. Agar Anda mampu mengidentifikasi perkembangan kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia, cermatilah materi berikut ini.

9. Kerajaan Buleleng dan Kerajaan Dinasti Warmadewa di Bali

Raja-raja yang berkuasa di Kerajaan Singhamandawa dikenal dengan wangsa (keluarga) Warmadewa. Dari bukti tertulis diketahui bahwa kerajaan ini didirikan oleh Sri Kesari Warmadewa, seseorang Buddha mewakili kekuasaan Sriwijaya di Bali.

Kemungkinan ia masih keturunan Bala Putradewa Hal ini didasarkan pada kesamaan cara penutisan prasasti, kesamaan dalam menganut Buddha Mahayana, dan pemakaian nama Dinasti Warmadewa. Sementara itu, Buleleng sebelum tampil sebagai kerajaan besar, wilayahnya menjadi bagian dari kerajaan dari Dinasti Warmadewa.

Adapun pusat pemerintahan Raja Buleleng atau Puri Raja Buleleng yang dibangun oleh Ki Barak Panji Sakti (I Gusti Anglurah Panji Sakti) peninggalannya sekarang masih berada di dua tempat, yaitu di Jalan Veteran dan Jalan Gajah Mada, Buleleng, Bali.

a. Sumber sejarah 

Berikut ini beberapa sumber sejarah yang menerangkan tentang Kerajaan Dinasti Warmadewa di Bali.

1) Prasasti Blanjong (835 Saka/914M) 

Prasasti Blanjong ditulis dalam huruf Pranagari menggunakan bahasa Bali Kuno dan huruf Kawi menggunakan bahasa Sanskerta. Prasasti Blanjong dibuat oleh Raja Sri Kesariwarmadewa. Prasasti ini menunjukkan adanya kekuasaan raja-raja dari Dinasti Warmadewa.

2) Kitab kuno atau sastra kuno 

Sumber sejarah yang berupa kitab kuno, misalnya kitab Raja Purana (terutama untuk mengatur masa pemerintahan Dinasti Warmadewa), kitab Makamandana (kitab undang-undang pada masa pemerintahan Jaya Pangus), dan kitab Udana Jawa.

3) Bangunan candi

Kompleks Candi Gunung Kawi (Tampak Siring) merupakan makam dari raja-raja Bali yang dibangun pada saat pemerintahan Raja Anak Wungsu.

b. Kehidupan politik 

Berdasarkan isi Prasasti Blanjong diduga raja yang pertama memerintah di Bali adalah Sri Kesari Warmadewa Pada prasasti itu disebutkan kata “walidwipa” yang merupakan sebutan untuk Pulau Bali. Prasasti Blanjong berangka tahun 835 Saka (913 M) dan dikeluarkan oleh Sri Kesari Warmadewa. lstananya berada di Singhadwalawa atau Singhamandawa. Letak pusat pemerintahannya ini awalnya termasuk di Desa Besakih, kemudian dipindahkan ke Pejeng. Sri Kesari Warmadewa diduga berasal dari Sriwijaya (Sumatra). Memperhatikan gelarnya yang menggunakan Warmadewa, para ahli sejarah menduga bahwa ia keturunan keturunan raja-raja Syai yang datang ke Bali untuk mengembangkan agama Buddha Mahayana. Sebagaimana diketahui Kerajaan Sriwijaya adalah menjadi pusat agama Buddha Mahayana di Asia Tenggara kala itu.

Dugaan para ahli diperkuat dengan pernyataan Sri Kesari Warmadewa yang menyatakan dirinya sebagai “raja adhipati”. Hal itu bila diartikan sebagai penguasa di Bali mewakili kekuasaan kerajaan lain. Kerajaan yang dimaksud diduga ialah Sriwijaya. Jadi, kemungkinan ia keturunan dari Balaputradewa. Hal ini berdasarkan kesamaan cara penulisan prasasti, kesamaan dalam menganut agama Buddha Mahayana, dan kesamaan nama Dinasti Warmadewa. Raja-raja pengganti Shri Kesari Warmadewa antara lain; (1) Sang Ratu Sri Ugrasena (915-942 M); (2) Sang Ratu Aji Tabanendra M); Warmadewa (955-967 M); (3) Jayasingha Warmadewa (960-975 M); (4) Janasadhu Warmadewa (975-983 M); (5) Sri Maharaja Sri Wijaya Mahadewi (983 M); (6) Dharma M) (8) Raja Anak Udayana Warmadewa (989-1011 M); (7) Marakata (1011-1022 , Wungsu (1049-1077 M).

c. Kehidupan sosial 

Kehidupan sosial masyarakat Buleleng sebagai bagian dari wilayah kerajaan Dinasti Warmadewa diperkirakan tidak begitu jauh dari keadaan masyarakat zaman sekarang. Pada masa pemerintahan Udayana masyarakat hidup berkelompok dalam suatu daerah yang disebut wanua. Sebagian besar penduduk yang hidup dalam wanua bermatapencaharian sebagai petani. Sebuah wanua dipimpin oleh seorang tetua yang dianggap pandai dan mampu melindungi masyarakatnya.

Agama Hindu yang diperkirakan masuk Bali bersamaan dengan agama Buddha juga sangat memengaruhi kehidupan masyarakat. Bahkan, Hindu dan Buddha berakulturasi di Bali sehingga disebut Siwa—Buddha (zaman Udayana). Sesuai kebudayaan Hindu di India, pada awal perkembangan Hindu di Bali sistem kemasyarakatannya juga dibedakan dalam beberapa kasta. Akan tetapi, untuk masyarakat yang berada di luar kasta disebut budak atau njaba Raja-raja Dinasti Warmadewa memperlihatkan sikap toleransinya yang tinggi. Sebagai contohnya raja memberikan izin bagi para pendeta Buddha (biksu) untuk mendirikan tempat pertapaan. Sikap yang demikian memperlihatkan adanya sistem sosial kemasyarakatan yang sudah berlangsung dan tertata baik.

d. Kehidupan ekonomi 

Bukti lain adanya kegiatan pertanian terdapat Prasasti Bulian yang menyebut adanya istilah sawah, parlak (sawah kering), (gaga) ladang, kebwan (kebun), dan lain sebagainya. Jenis tanaman yang dikenal pada masa itu adalah padi, kelapa, enau, keladi, bawang, dan kemiri. Di sisi lain, umumnya puri atau pusat pemerintahan kerajaan-kerajaan di Bali berada di dekat pelabuhan atau paling tidak mempunyai pantai sebagai salah satu wilayah kekuasaannya. Keadaan yang demikian mendorong terjadinya perdagangan dengan tempat lain. Komoditas perdagangan dari Buleleng, di antaranya kapas, beras, asam, kemin, dan bawang. Sistem perdagangan yang berlaku pada saat itu adalah sistem barter dan ada juga yang sudah menggunakan uang sebagai alat tukarnya, seperti ma, su, dan piling.

e. Kemunduran Kerajaan Buleleng dan Dinasti Warmadewa di Bali 

Tidak banyak informasi yang didapat tentang kemunduran kerajaan dari Dinasti Warmadewa. Hanya saja setelah itu beberapa raja yang silih berganti memerintah Bali, seperti Sri Jayasakti, Ragajaya, Sri Jayapangus, Arjaya Dengjaya Ketana, Haji Ekajayalancana, Bhatara Guru Sri Adikuntiketana, dan Adidewalancana. Setelah masa pemerintahan Adidewalancana diduga wilayah Bali dikuasai Singasari. Pada waktu itu Singasari menetapkan Rajapatih Makassar Kebo Parud sebagai wakilnya di Bali. Setelah Kerajaan Singasari dihancurkan oleh Jayakatwang, RB Warmadewa Gelang-Gelang, Kediri maka kekuasaan di Bali dipegang oleh Sri Mahaguru Dharmatungga Warmadewa yang berkuasa hingga tahun 1328 dan kerajaannya disebut “Bata Anyar”. Setelah itu, ia digantikan putranya, yaitu Sri Tarunajaya atau Sri Walajaya Kertaningrat yang berkuasa hingga tahun 1337. Sesudah itu yang menjadi penguasa di Bali adalah Sri Tapolung yang bergelar Sri Asta Asura Ratna Bumi Banten (1337-1343). la sering disebut juga Dalem Sri Bedahulu. Pada tahun 1343, Bali ditaklukkan oleh pasukan Kerajaan Majapahit yang saat itu dipimpin Adityawarman dan Mahapatih Gajah Mada. Untuk menjaga stabilitas wilayah Bali, Gajah Mada mengangkat adipati dari Jawa yang diberi gelar Dalem Ketut Kresna Kepakisan sebagai penguasanya.

Sementara itu, sepeninggal I Gusti Anglurah Panji pada tahun 1704 Kerajaan Buleleng mulai goyah karena putra-putranya berbeda pandangan dalam mengelola kerajaan. Melemahnya Kerajaan Buleleng dimanfaatkan Kerajaan Mengwi untuk menguasainya pada tahun 1732, namun kembali merdeka pada tahun 1752. Buleleng juga pernah dikuasai Raja Karangasem pada tahun 1780 Raja Karangasem, I Gusti Gde Karang, membangun istana dengan nama Puri Singaraja. Kerajaan Buleleng akhirnya takluk kepada kolonial Hindia Belanda setelah terjadi perang dahsyat pada kurun waktu 1846-1849. Pada pertempuran tersebut muncul tokoh perlawan Patih I Gusti Ketut Jelantik yang mengobarkan semangat Perang Puputan.

 

Post a Comment for "Kerajaan Buleleng dan Kerajaan Dinasti Warmadewa di Bali - Munculnya Negara Tradisional (Kerajaan) bercorak Hindu-Buddha di Indonesia"